TEMPO.CO, Semarang- Majelis hakim Pengadilan Negeri Kendal, Jawa Tengah memvonis tiga petani asal Desa Surokontowetan, Kecamatan Pageryurung, dengan hukuman 8 tahun penjara, Rabu, 18 Januari 2017. Selain hukuman penjara, terdakwa juga harus membayar denda Rp 10 miliar, subsider 3 bulan kurungan.
Para petani itu adalah Abdul Aziz, Sutrisno dan Mujiono. Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 94 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberatanan Perambahan Hutan. “Kami memutuskan menghukum terdakwa 8 tahun dan denda Rp 10 miliar subsider tiga bulan,” kata ketua majelis hakim Irlina.
Menurut Irlina, putusan itu berdasarkan voting dari tiga majelis hakim. Iriana punya dissenting opinion atau pendapat sendiri dengan memvonis 3 tahun untuk Abdul Azis dan 2 tahun untuk Sutrisno dan Mujiono. “Pertimbangan saya sosiologis, namun hasil voting majelis memutuskan hukuman 8 tahun,” kata Irlina.
Sebelumnya Nur Aziz, Sutrisno dan Mujiono dilaporkan ke polisi oleh PT Sumurpitu Wringinsari dan PT Semen Indonesia dengan tuduhan menempati lahan yang telah dijualbelikan. Jual beli itu dilakukan dua perusahaan sebagai penganti lahan milik Perhutani di Kabupaten Rembang untuk kepentingan ekplorasi industri semen.
Namun, mereka berkukuh bahwa telah lama menggarap lahan. Status lahan Hak Guna Usaha (HGU) itu dikuasai PT Semen Indonesia. PT Semen Indonesia kemudian menukarkan lahan itu ke Perhutani sebagai ganti lahan eksplorasi semen di Rembang. Lahan yang digarap petani 125 hektare dari total 400 hektare yang dibiarkan telantar.
Para petani telah menggarap tanah itu sejak 1967, ketika HGU lahan selesai dikelola oleh NV Seketjer Wriginsari. Petani berdalih, jika mengacu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 seharusnya petani memiliki lahan itu karena telah digarap lebih dari 20 tahun karena diterlantarkan.
Pengacara petani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Kahar Muamalsyah langsung mengajukan banding terkait putusan itu. Kahar menilai hakim gagal memahami konteks undang-undang pencegahan dan pemberatanan perambahan hutan.
“Tak mempertimbangkan aspek sosiologis, undang -undang undang-undang pencegahan dan pemberantasab perambahan hutan yang seharusnya menyasar untuk kejahatan kehutanan yang sifatnya trans nasional dengan tekonologi canggih,” kata Kahar.
Menurut Kahar, undang-undang itu tak bisa dikenakan ke masyarakat yang tinggal di dalam dan kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan bukan untuk tujuan komersial. “Di dalam pasal itu tak menyebutkan masyarakat adat,” kata Kahar.
EDI FAISOL