TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Marchellinus Djadijono, menyatakan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2016 memiliki citra negatif. “Suka-suka mengganti Ketua DPR dan mengubah kebijakan reses maupun pembebasan kunjungan kerja di luar negeri,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 10 Januari 2017.
Menurut Djadijono, persoalan lain dari DPR adalah pada perancangan RUU, baik yang baru maupun revisi. Ia menilai DPR mengalami inkonsistensi. Misalnya pada 2016, sudah tiga kali mengubah draf RUU prioritas dengan melakukan penambahan pada daftar yang telah disepakati di awal 2016.
Baca juga:
Pimpinan DPR Tambah Satu, Fahri Hamzah: Tugasnya Lihat Nanti
Djadijono menjabarkan perubahan tersebut terjadi, yaitu pada 20 Juni 2016 dengan menambahkan 10 RUU prioritas. Lalu pada 15 Desember saat paripurna penutupan masa sidang, yakni menambah 1 RUU, yaitu merevisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Di samping itu, penyelesaian dan pengharmonisasian, pembulatan, serta pemantauan RUU tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1999 perihal Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Sosial, dan soal Perkelapasawitan yang diagendakan selesai, sampai sekarang belum berhasil disahkan. Menurut Djadijono, itu menandakan penyusunan program legislasi nasional maupun pembahasan hingga penyelesaiannya tunduk pada kepentingan politik di masing-masing fraksi. “Bukan mengacu pada urutan kebutuhan prioritas bangsa yang sesungguhnya,” kata dia.
Selain itu, Djadijono menilai pelaksanaan fungsi anggaran kurang berpihak kepada kepentingan publik. Misalnya penyusunan, pembahasan, hingga penetapan anggaran DPR tidak transparan. Padahal pimpinan DPR menyatakan komitmen mendorong transparansi anggaran yang melibatkan publik dalam proses pembahasan.
DANANG FIRMANTO
Simak:
HUT PDIP, Megawati Ungkap Masalah SARA dan Ideologi Tertutup
Hamdan Zoelva: Peradilan Jessica Warnai Hukum 2016