TEMPO.CO, Jakarta - Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hukum Acara Pemidanaan Korporasi telah rampung. Mulai tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah bisa menjerat korporasi menjadi tersangka.
Penerapan Perma ini diharapkan menambah efek jera bagi pelaku pidana yang berasal dari sektor swasta. Sebab, nyaris semua tindak pidana korupsi melibatkan korporasi.
Namun menurut Wakil Ketua KPK La Ode Muhammad Syarif, Perma tersebut akan sulit diterapkan pada korporasi badan usaha milik negara (BUMN). "Untuk BUMN memang agak susah karena alibi tricky," ujarnya di gedung KPK, Senin, 9 Januari 2017.
Menurut Syarif, lembaga antirasuah kesulitan mendenda BUMN disebabkan oleh keuangan korporasi yang berasal dari negara. "Misalnya saya hukum BNI. BNI kan perusahaan negara, terus uang BNI diambil dan masuk ke Kemenkeu. Ya sama saja, kan sama-sama uang negara. Jadi sama kayak dari kantong kanan masuk ke kantong kiri," kata dia.
Syarif meyakini korupsi yang dilakukan orang-orang BUMN untuk kepentingan oknum tertentu dan hanya dinikmati oleh individu-individunya. Korupsi itu bukan untuk kepentingan korporasi seperti yang dilakukan beberapa korporasi swasta lain. Untuk itu, kata Syarif, KPK saat ini akan fokus menyasar korporasi dari kalangan swasta.
Syarif tak menyebutkan korporasi mana yang masuk radar KPK. Namun, dia memastikan lembaganya akan menindak semua korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
MAYA AYU PUSPITASARI