TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menuturkan, sampai Desember 2016, pemerintah sudah memblokir hampir 800 ribu situs di Internet.
"Sebanyak 90 persen merupakan situs pornografi dan lainnya situs penyebar berita bohong (hoax)," kata Semuel ketika ditemui di Cikini, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017.
Baca juga:
Ultimatum Kementerian untuk 43 Ribu Media 'Abal-abal'
Menurut Semuel, banyak pengelola situs yang diblokir itu mengklaim medianya merupakan bagian dari produk jurnalistik. Setidaknya ada 43 ribu situs media abal-abal yang aktif di Indonesia. “Mereka masih beredar. Ada yang di daerah-daerah,” ucapnya.
Banyaknya media abal-abal ini dapat mencoreng fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi. “Kalau diisi sama yang enggak benar, kalau sampai masyarakat menilai, ‘Wah, media brengsek,’ ini bahaya,” ujar Semuel.
Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, menuturkan, pascarevolusi digital, banyak bermunculan situs-situs yang mirip seperti pers. Produknya dinamakan berita dan memiliki struktur kepengurusan.
Imam menjelaskan, bila suatu situs ingin disebut pers, situs itu harus mengacu pada Undang-Undang Pers serta kode etik, standar, dan prinsip jurnalistik dalam kerja serta isi tulisannya. “Dalam kaitan media yang diblokir, apakah kontennya sudah sesuai dengan jurnalistik?” tutur Imam.
Konten yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, kata Imam, harus mendidik, benar, informatif, akurat, serta menghormati kebinekaan, hak asasi manusia, dan hukum. Adapun untuk institusinya harus berbadan hukum. “Entah itu yayasan, lembaga, atau PT,” ucap Imam.
Selain itu, bila ingin disebut sebagai pers, media tersebut harus terdaftar di Dewan Pers. “Sejauh ini, mereka (situs-situs yang diblokir) tidak terdaftar dalam Dewan Pers,” ujar Imam.
AHMAD FAIZ