TEMPO.CO, Yogyakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,4 miliar untuk program bernama Sinau Pancasila atau Belajar Pancasila. Program itu mulai diterapkan pada tahun ini.
Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto mengatakan, Dewan bersama Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik DIY menyepakati program Sinau Pancasila dilaksanakan di 78 kecamatan. “Program Sinau Pancasila ini akan dikemas dalam bentuk seperti diskusi-diskusi di level kecamatan yang melibatkan musyawarah pimpinan kecamatan, guru, dan perangkat desa,” ujar Eko, Senin, 2 Januari 2016.
Selain Sinau Pancasila di tingkat kecamatan, sebanyak 300 pegawai negeri sipil DIY juga akan diikutkan dalam program khusus bernama Kursus Pancalisa, Wawasan Kebangsaan dan Keistimewaan DIY.
Eko menuturkan program Sinau Pancasila sebagai tindak lanjut kebijakan Presiden Joko Widodo yang pada akhir Desember 2016 membentuk badan pemantapan Pancasila. Pembentukan badan itu dilatarbelakangi oleh maraknya kasus intoleransi dan kekerasan di sejumlah negara yang berimbas pada terbelahnya solidaritas sosial dan muncul gangguan ketertiban. Pembentukan badan tersebut diklaim untuk menekan gejala terorisme, ekstremisme dan radikalisme.
Eko mengimbuhkan, program Sinau Pancasila juga diiringi dengan langkah lain, yakni mendorong pemerintah DIY segera menghidupkan kembali kantong-kantong budaya di tingkat desa. “Kantong-kantong budaya di tingkat desa/kelurahan ini sasarannya untuk menekan kasus kekerasan di wilayah DIY yang sekarang ikut didominasi kalangan pelajar sekolah,” ujar Eko.
Eko berujar, Sinau Pancasila dan kantong budaya akan menjadi pintu masuk karena DPRD menilai DIY saat ini sudah dalam status darurat kekerasan pelajar. “Program ini harus diikuti dengan razia senjata tajam, narkoba, dan SIM (surat Izin Mengemudi) di sekolah,” ucapnya.
Budayawan Yogyakarta, Whani Dharmawan, menuturkan keberadaan kantong budaya di desa maupun kampung tak cukup digencarkan hanya lewat imbauan, namun perlu dibuatkan peraturan daerah yang mengaturnya. “Supaya ada pengolahan budaya lebih terfokus di masyarakat,” ujar Whani.
Menurut Whani, yang harus diperangi untuk menekan kekerasan pelajar salah satunya adalah media sosial. Sebab, kata dia, media sosial sering menjadi pemicu aksi kekerasan karena sebaran informasinya sangat cepat.
Whani menilai Kepolisian juga perlu merombak sistem perondaan di desa dan kampung. “Pos-pos ronda ini seharusnya dibangun bukan di tengah kampung, namun di dekat jalan yang sering menjadi area tawuran,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO