TEMPO.CO, Jakarta - Dwi Estiningsih, kader Partai Keadilan Sejahtera Yogyakarta yang cuitan di akun media sosialnya soal gambar pahlawan nonmuslim pada mata uang rupiah membuat heboh beberapa waktu lalu, menggelar jumpa pers khusus membicarakan pelaporan dirinya.
Bertempat di sebuah restoran di Yogyakarta, Kamis, 29 Desember 2016, Dwi angkat bicara bersama kuasa hukumnya yang tergabung dalam tim bernama Advokat Cinta Pahlawan atau ACP.
BACA:
Ini Cuitan Dwi yang Dipolisikan
Dwi: Jangan Ajari Saya Toleransi
Ibu empat anak itu menuturkan, meskipun cuitan di media sosialnya mulai berujung pada rentetan pelaporan kepada pihak kepolisian, baik di Jakarta maupun Yogyakarta, Dwi berkukuh hal yang dilakukannya tak salah atau melanggar hukum. Itu sebabnya, ia tidak berniat melakukan permintaan maaf terkait dengan cuitan yang dianggap menyinggung sebagian orang tersebut.
“Sampai saat ini, saya belum ada pikiran untuk menghapus twit saya. Saya akan berfokus pada proses hukum dulu,” ujar Dwi.
Lewat akun Twitter-nya, @estiningsihdwi, pada 20 Desember 2016, Dwi menulis,
Luar biasa negeri yg mayoritas Islam ini.
Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir.#lelah https://t.co/gJt7RIUWNr— Dwi Estiningsih (@estiningsihdwi) December 20, 2016
Cuitan Dwi lainnya juga disorot, seperti "Iya, sebagian kecil non-muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung saya belajar #sejarah."
Cuitan Dwi pun dilaporkan, salah satunya, oleh Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 21 Desember 2016.
Juru bicara tim advokat Dwi, Wawan Andryanto, menyatakan pernyataan kliennya di media sosial hanyalah sebuah komentar untuk menyoal kebijakan pemerintah saat menerbitkan uang kertas baru. “Dwi mempertanyakan prinsip keadilan, bukan mempermasalahkan adanya pahlawan muslim-non muslim,” kata Wawan. Wawan menilai Dwi dalam pernyataannya juga tidak menolak keberadaan pahlawan nonmuslim yang ada dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Wawan menambahkan, pihaknya justru menyoal asas keterbukaan pemerintah dalam membuat keputusan untuk uang kertas baru. “Pemerintah tidak menjalankan asas-asas pemerintahan, di mana salah satuya adalah keterbukaan,” tuturnya.
Menurut Wawan, jika sebelum penentuan gambar yang ada pada uang kertas tersebut dilakukan sosialisasi terlebih dulu, tentu tidak terjadi perdebatan. “Pemerintah tidak bersikap populis dan transparan, padahal sikap populis Presiden sangat dipuji banyak pihak selama ini,” ucap Wawan.
Namun tim kuasa hukum Dwi menegaskan, pihaknya tak mau jika kata "Presiden" dalam keterangan persnya lantas dikaitkan dengan nama Joko Widodo, Presiden RI saat ini. “Kebijakan Presiden yang kami soal bukan kebijakan Jokowi,” ujar Ketua Tim Advokat ACP Iwan Satriawan.
Tim advokat Dwi menuturkan kasus kliennya yang menjadi polemik ini sebenarnya tidak rumit dan hanya sebuah keluhan seorang warga negara pada kebijakan pemerintah. “Warga negara kan punya hak mengontrol pemerintah, konstitusi pun menjamin hak menyatakan pendapat. Pemerintah hanya perlu menjelaskan,” katanya.
Kubu Dwi pun menyatakan siap menghadapi proses hukum. “Kami siap jelaskan semuanya kepada polisi. Namun saat ini belum ada pemanggilan dari kepolisian,” tuturnya.
PRIBADI WICAKSONO