TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunda mediasi konflik lahan eks Direktorat Jenderal Perkebunan antara PT Satu Stop Sukses dan warga penggarap di Kelurahan Bencongan, Kabupaten Tangerang, yang dijadwalkan berlangsung Kamis, 15 Desember 2016. "Mediasi ditunda, agenda hari ini baru tahap pramediasi," ujar Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat kepada Tempo, Kamis, 15 Desember 2016.
Pramediasi dilakukan tim Komnas HAM tanpa anggota komisioner. Tim Komnas HAM akan menemui setiap pihak yang bertikai secara terpisah. Imdadun mengatakan penundaan mediasi disebabkan sejumlah faktor, di antaranya tak adanya komisioner Komnas HAM yang bisa hadir ke eks lahan perkebunan. "Selain itu, masalah ini secara teknis belum bisa masuk tahap mediasi," kata Imdadun.
Baca:
Penangkapan di Tasikmalaya, Tim Densus 88 Sita Rompi Berkabel
Selamat dari Gempa Pidie Aceh karena Demam
Menurut Imdadun, kedua pihak—pengusaha yang akan membangun apartemen dan warga penggarap—masih berkukuh sebagai pemilik tanah seluas 14 hektare itu. "Mediasi baru bisa dilakukan jika masing-masing pihak menyampaikan hal-hal yang akan dijadikan kesepakatan. Kalau masih saling ngotot, sulit dilakukan mediasi," tutur Imdadun.
Imdadun mengatakan Komnas HAM sudah cukup lama menelusuri masalah lahan yang dianggap tidak bertuan itu. Hasil penelusuran, kata dia, dari sejarah tanah kedua belah pihak yang mengklaim atas kepemilikan tanah seluas 14 hektare itu. "Semua pihak, baik pengusaha yang mengklaim maupun warga yang telah lama tinggal di sana, secara legalitas tidak ada dokumen," kata Imdadun.
Sebanyak 450 kepala keluarga yang tinggal di lahan eks perkebunan di Kelurahan Bencongan, Kabupaten Tangerang, menolak rencana pembangunan apartemen yang akan menggusur permukiman mereka. Sebagai bentuk penolakan, warga penggarap lahan eks Direktorat Jenderal Perkebunan seluas 14 hektare itu memasang spanduk protes dan penolakan serta akan mengadu ke Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
"Kami akan berjuang mempertahankan hak kami dengan cara apa pun," ujar Ketua I Paguyuban Bina Mitra Warga Penggarap Kavling Perkebunan Suryanto. Sebab, kata Suryanto, warga mencurigai klaim pengembang atas kepemilikan lahan tempat tinggal mereka selama 30 tahun itu penuh rekayasa dan kongkalikong aparat dan pemerintah.
"Pengembang mengklaim telah membeli lahan yang kami tempati, tapi tak bisa menunjukkan dokumen, titik lokasi, dan batas lahannya," tutur Suryanto.
Sengketa lahan garapan ini bermula pada awal 2012. PT Satu Stop Sukses milik pengusaha Kismet Chandra mengklaim memiliki 6,6 hektare dari 14 hektare lahan garapan kavling perkebunan. Padahal sekitar 1.500 jiwa penduduk menempati 221 kavling tanah itu sejak 1985.
Kismet mengklaim telah membeli sebagian tanah yang ditempati warga tersebut. Dari 2013 hingga kini, pengembang telah mengantongi izin prinsip, izin lokasi, site plan, dan amdal dari Pemerintah Kabupaten Tangerang.
JONIANSYAH HARDJONO