TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan pihaknya memberikan catatan khusus perihal dua indikator penilaian survei indeks kinerja hak asasi manusia (HAM) terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo. Catatan itu diberikan lantaran dua indikator penilaian survei menunjukkan penurunan. “Kebebasan berekspresi dan berserikat serta kebebasan beragama (berkeyakinan),” katanya di kantornya, Senin, 12 Desember 2016.
Setara Institute menggulirkan survei terhadap 202 responden di 19 provinsi yang merupakan ahli, aktivis, tokoh masyarakat, dan akademisi. Survei tersebut mengukur indeks kinerja HAM pemerintah Jokowi dengan nilai 0-7. Survei dilakukan mulai 5 November–5 Desember 2016.
Ada delapan indikator penilaian indeks kinerja HAM yaitu penyelesaian HAM masa lalu, kebebasan berekspresi dan berserikat, kebebasan beragama, hak rasa aman, penghapusan hukuman mati, penghapusan diskriminasi, hak atas ekonomi sosial budaya, dan rencana aksi nasional HAM serta kinerja lembaga HAM. Dari delapan indikator, indeks kebebasan berekspresi dan beragama turun.
Bonar mengatakan pada survei 2015 variabel kebebasan berekspresi dan berserikat menunjukkan angka 2,18. Namun pada survei 2016 turun menjadi 2,1. Sedangkan variabel kebebasan beragama turun dari 2,57 menjadi 2,47.
Bonar mengatakan penurunan nilai kebebasan berekspresi terlihat dari meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi melalui kriminalisasi aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis. Pihaknya mencatat Papua menjadi daerah darurat kebebasan berekspresi dengan 29 orang yang dikriminalisasi. Sebanyak 2.397 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 13 orang dibunuh, 68 orang ditembak, dan 2 peristiwa percobaan pembunuhan pada 2016.
Selain itu, adanya pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memicu sentimen negatif pada kebebasan berekspresi di masa mendatang. Bonar mengatakan ada potensi pelanggaran HAM semakin bermunculan lantaran ekspresi berkomentar terhadap pihak lain di media sosial. “Yang melaporkan adalah yang punya akses terhadap kekuasaan,” katanya.
Anggota Setara Institute, Sudarto, menambahkan, untuk penurunan indeks kinerja HAM pada variabel kebebasan beragama tercermin dari ketidaktegasan pemerintah menangani isu-isu agama. Ia mencontohkan, masalah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, yang dinilai melanggar hukum lantaran banyak pengikut yang tidak diberikan hak mendapatkan KTP.
Sudarto mengatakan kasus pelanggaran kebebasan beragama tahun ini dinilai berdampak buruk di mata hak asasi manusia. Misalnya pembongkaran masjid Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kendal, pembakaran permukiman Gafatar, dan pelarangan pendirian gereja di Pasar Minggu.
Menurut Sudarto, langkah yang harus ditempuh adalah pemerintah harus berani mencabut segala peraturan yang dinilai tidak mendukung kebebasan HAM. “Harus tegas, dialog-dialog antarwarga perlu terus dikembangkan,” katanya.
DANANG FIRMANTO