TEMPO.CO, Jakarta – Buruh migran Indonesia yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan asing kerap mengalami kekerasan dan eksploitasi. “Eksploitasi itu cukup banyak terjadi. Jadi mereka bisa bekerja 22 jam per hari. Kemudian, kalau ketersediaan air bersih kurang, kadang para buruh itu meminum air hasil es yang mencair dari freezer di kapal ikan tersebut,” kata juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution, di Kantor Kementerian Tenaga Kerja, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat, 9 Desember 2016.
Menurut Arifsyah, kisah itu didapat dari testimoni para anak buah kapal (ABK) ikan asing. Mendapati hal tersebut, Arifsyah mempertanyakan tentang perlindungan hukum bagi para buruh migran itu. “Ada masalah besar, kita kan punya anak buah kapal perikanan di luar negeri yang kita tempatkan, cukup banyak dan besar,” ucapnya. Sayang, perlindungan hukum terhadap mereka tak jelas.
Arifsyah mengatakan saat ini ada sekitar 220 ribu buruh migran anak buah kapal. Dari angka tersebut, 77 persen bekerja sebagai anak buah kapal ikan asing, sisanya bekerja di kapal kargo dan kapal pesiar.
Para aktivis berharap eksploitasi ini diakhiri, karena mereka tidak ingin WNI, terutama anak buah kapal Indonesia, terus dieksploitasi.
“Perlu kebijakan yang komprehensif, perbaikan kebijakan, sehingga memastikan penempatan ABK benar-benar jelas. Mereka harus ditempatkan di kapal ikan yang jelas negaranya, karena selama ini hal itulah yang perlu dimonitor oleh pemerintah,” kata Arifsyah.
ANDI GUNAWAN | JH
Baca juga:
Kapolda Metro Jaya Tahu Pemberi Dana Percobaan Makar
DKI Batal Beli Lahan Eks Kedubes Inggris, Ini Penjelasannya