TEMPO.CO, Samarinda - Konflik tanah ulayat di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur belum menemukan titik terang sejak 2014. Pemerintah daerah setempat yang mengajukan tapal batas kampung ditolak warga Long Isun, suku Dayak Bahau Busang, bersama Kepala Adat, Lusang Aran.
Luas Kampung Long Isun 83.008 hektare berdasarkan kesepakatan tapal batas antar-kepala adat. Luasan itu sudah termasuk hutan adat yang dimiliki masing-masing kampung yang bertetangga. Belakangan, hadirnya perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), sejak 2014 menyebabkan suasana di kampung tersebut gaduh.
Penebangan hutan oleh perusahaan ditolak mentah-mentah warga dan kepala adat Long Isun. Alasannya, secara turun temurun mereka hidup dari berladang dan berburu di hutan. Hutan bagi suku Dayak Bahau Busang sebagai aset adat yang bisa diturunkan kepada anak cucu.
Buat memuluskan niatnya, Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu yang diwakili Wakil Bupati Juan Jenau pada Senin, 5 Desember 2016 menggelar pertemuan di Balai Pertemuan Kecamatan Long Pahangai. Juan mensosialisasikan perubahan tapal batas kampung Long Isun.
"Kami menolak, kami tak mau tandatangan perubahan tapal batas itu," kata Cristina Yeq Lawing, Dewan Adat Kampung Long Isun, saat dihubungi dari Samarinda, Selasa, 6 Desember 2016.
Cristina menganggap perubahan tapal batas kampung berdasarkan Surat Keputusan Bupati Mahakam Ulu tidak menyertakan alasan yang bisa diterima. Yang ada justru luasan tanah kampung berkurang hingga 2.837 hektare.
Mereka beranggapan tapal batas ini erat kaitannya dengan rencana kerja tahunan perusahaan HPH yang beropreasi di kampung. "Kami di sini tak tahu perusahaan apa namanya, tapi orang kampung sebut Roda Mas," kata Cristina.
Penolakan Kepala Adat Kampung Long Isun membuat pemerintah kecamatan turun tangan. Usai pertemuan, petugas dari kecamatan bersama polisi mendatangi kampung untuk meminta tandatangan sang kepala adat.
"Kami tetap tak mau teken biar sampai kapan tak mau, itu sumber kami hidup. Itu hutan kami turun temurun, kami mau jaga," kata dia.
Pemaksaan ini membuat tokoh pemuda bersinergi dengan kelompok pegiat adat dan pegiat lingkungan di Samarinda yakni Nurani Perempuan, Pokja 30 serta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Organisasi-organisasi tersebut mendukung aksi penolakan warga adat dayak ini. "Sekarang Kepala Adat kami ungsikan, dia terus dicari mulai kemarin," kata Cristina.
Nurani Perempuan kini mendampingi warga Long Isun. Mereka menilai pemaksaan persetujuan tapal batas merupakan bentuk intimidasi gaya baru memuluskan niat penjarahan hutan oleh penguasa. Hasil analisa Nurani Perempuan bersama Walhi menyebutkan jika tapal batas dari pemerintah daerah disetujui maka luasan hutan adat yang lepas dari Kampung Long Isun berkurang dua ribuan hektare.
"Nah luasan lahan yang nantinya lepas dari Long Isun itulah yang masuk dalam rencana kerja tahunan perusahaan HPH PT Kemakmuran Berkat Timber, Grup Roda Mas," kata Ignatius Hanyang dari Nurani Perempuan.
FIRMAN HIDAYAT