TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan empat tersangka pembuat bahan peledak bom di Majalengka bertemu dan berkenalan melalui media sosial Facebook. Mereka lantas berkumpul secara langsung sejak Juni lalu.
"Jadi barang yang awalnya mereka persiapkan, mereka mau membuat laboratorium pembuatan sabu-sabu," kata Boy di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 30 November 2016.
"Cita-citanya, sabu dijual untuk melakukan aksi teror untuk amaliah. Ide ini berubah sejak mereka berkumpul," ujar Boy. Menurut dia, para tersangka ini belum pernah meracik sabu. Alasannya, uang-uang yang mereka kumpulkan belum cukup.
Detasemen Khusus 88 awalnya menangkap Rio Priatna Wibawa, 24 tahun, karena disangka sebagai pembuat bahan peledak bom di Desa Girimulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, pada Rabu pagi, 23 November 2016.
Tiga tersangka lain ditangkap beberapa hari setelah Rio. Mereka adalah Bahraini Agam (36 tahun) di Aceh, Eep Saeful Bahri (30) di Serang, dan Hendra Rizki alias Abu Pase (24).
Menurut Boy, niat mereka berubah dari menjual sabu menjadi membuat bahan peledak. Mereka sendiri mempersiapkan sebuah peledakan di akhir tahun. Boy mengatakan alat itu kurang detonator saja. Bom berjenis high explosive ini, ujar dia, efek ledakannya bisa mencapai 8.000 meter per detik. Bahkan Rio dan Bahraini sudah survei ke beberapa daerah yang menjadi target terornya.
Menurut Boy, mereka cukup kreatif memanfaatkan barang-barang sebagai alat dan bahan peledak bom. "Mereka menggunakan barang-barang yang biasa dipakai sehari-hari, bahkan kuteks yang biasa dipakai wanita," katanya. Mereka juga membeli bahan secara online.
"Dari hasil ini, mereka ada niat menjual bahan peledak. Dengan keberhasilan mereka, nanti akan menerima pesanan bom," ujar Boy. Jaringan ini juga diduga berkomunikasi dan termasuk jaringan Bahrun Naim, yang sedang berada di Timur Tengah.
REZKI ALVIONITASARI