TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menanggapi santai langkah Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump yang akan menarik Amerika keluar dari wadah Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP). Malah, kata Jokowi, Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto akan berbicara dengan Donald Trump perihal TPP.
"Yang jelas kami senang karena kedekatan Pak Setya Novanto dengan Donald Trump, he-he-he. Jadi, nanti, kalau ada apa-apa, ya bisa minta tolong ke Pak Setya hehehe," ujar Presiden Jokowi seusai menjamu Setya Novanto di Istana Kepresidenan, Selasa, 22 November 2016.
Sebagaimana dikutip dari situs berita The Guardian, Donald Trump telah mengunggah video yang pada intinya menyatakan akan menarik Amerika keluar dari TPP begitu mulai memimpin Amerika Serikat. Ia pun mengklaim tim transisi sudah mulai bekerja untuk memastikan penarikan itu berlangsung dengan mulus, efektif, dan efisien.
Trump menyebut keikutsertaan Amerika dalam TPP sebagai sebuah bencana. Menurutnya, hal itu hanya akan merugikan warga Amerika. Sebagai gantinya, ia memilih untuk menegosiasikan kerja sama bilateral yang bisa memperbanyak lapangan kerja dan industri ke Amerika.
Pada Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada Presiden Barack Obama bahwa Indonesia akan bergabung ke TPP. Pertimbangannya, untuk memangkas tarif tinggi yang harus ditanggung Indonesia salah satunya saat mengekspor produk ke Amerika Serikat.
Adapun soal kedekatan Setya Novanto dengan Donald Trump, hal itu mengacu pada saat Setya Novanto berkunjung ke Amerika untuk bertemu taipan berambut pirang itu pada 3 September 2015. Kepada Donald Trump, Setya Novanto menyebutnya sebagai figur terkenal dan disukai warga Indonesia.
Presiden Joko Widodo melanjutkan bahwa dirinya belum sepenuhnya yakin penarikan Amerika Serikat dari TPP itu akan benar terjadi. Ia mengatakan dirinya baru berkomentar lebih detil jika niat Donald Trump itu benar-benar akan terealisasi. "Kan belum itu. Jadi, saya gak mau berbicara," ujar Joko Widodo.
Sejumlah tokoh dan aktivis di Tanah Air telah menolak bergabungnya Indonesia ke dalam TPP. Salah satunya Emil Salim, pensiunan guru besar UI dan mantan menteri. Menurut Emil Salim, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam pembangunan di dalam negeri.
Dia menyarankan Indonesia berfokus dulu pada penyelesaian pekerjaan rumah itu. "Mengapa pemerintah kita terlalu menganggap bahwa Amerika Serikat adalah pasar yang besar? Masih banyak pasar yang lebih bagus dan menguntungkan bagi Indonesia selain Amerika," katanya.
Emil menjelaskan akan lebih bijak bila Indonesia berfokus dulu pada kerja sama ASEAN plus 3, Jepang, Korea Selatan, dan Cina. "Trade agreement itu tentu tidak kalah dengan TPP," ujarnya.
Selain itu, ujar Emil, beberapa poin dalam agreement TPP tidak sejalan dengan peraturan dan visi-misi pemerintah Indonesia. "BUMN misalnya, saya menebak akan kolaps jika kita terburu-buru memutuskan bergabung dengan TPP," tuturnya. Sebab, Emil melihat BUMN belum siap bersaing dengan perusahaan asing.
Dalam TPP disebutkan bahwa tidak ada hak spesial bagi BUMN dalam persaingan pengerjaan sebuah program. Emil menganalogikan kondisi tersebut dengan kisah dua sosok juara tinju, Elyas Pical dan Muhammad Ali. "Mereka sama-sama juara tinju, tapi di kelas yang berbeda. Bayangkan jika mereka diadu. Sama halnya dengan kita."
Emil berharap pemerintah bisa memahami situasi secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan. Amerika Serikat, menurut dia, hanya memikirkan kepentingan negara-negara serikatnya dan tidak mempedulikan kepentingan negara anggota lainnya.
"Mereka akan menolak segala negosiasi yang tidak menguntungkan. Contohnya di APEC. Harusnya bisa kita sadari itu. Fokus saja dulu pada ASEAN plus 3," ujar Emil Salim yang sejak dasa warsa 1990 memperkenalkan pembangunan berkelanjutan.
ISTMAN M.P.