TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis mengatakan lembaganya mengusulkan salah satu revisi pasal dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran, yang kini tengah dibahas di DPR, menyasar industri konten. “Seperti variety show, artis-artis itu harus didenda kalau dia tahu yang namanya regulasi. Jadi jangan industri terus yang dipersalahkan karena industri juga harus kuat dari isi konten,” kata dia setelah menemui Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Gedung Negara Pakuan, Bandung, Senin, 21 November 2016.
Yuliandre mengatakan sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran baru sebatas pencabutan program. Misalnya, pencantuman denda, tapi tidak menyebutkan besarannya. “Kita dorong permasalahan itu dibahas di DPR,” ujar dia.
Menurut Yulidandre, industri konten menjadi masalah tersendiri dalam industri penyiaran. “Kenapa ada konten di televisi, seperti sinetron dari Turki dan India di televisi-televisi nasional kita? Sebab, lebih murah. Satu episode 1.000 dollar AS, kalau Indonesia bisa 250 sampai 3 ribu Dollar AS untuk produksi, isinya saat ini sinetron jadi-jadian lah, apalah, enggak ada konten, enggak ada isu. Ini masalah juga di kita,” tutur dia.
Yuliandre berharap Revisi Undang-Undang Penyiaran dapat menguatkan peran KPI dalam penjatuhan sanksi. “Kewenangan KPI harus lebih kuat. Sekarang, levelnya hanya pemanggilan. Mungkin nanti bisa berisiko pencabutan izin. Kalau izin sekarang harus bersama kementerian Kominfo, berdua,” ucap dia.
Selain itu, ujar Yuliandre, KPI mengusulkan konten siaran streaming via internet bisa masuk dalam ranah pengaturan Revisi Undang-Undang Penyiaran. “Konvergensi jadi masalah karena televisi streaming itu banyak sekali, enggak ada yang kontrol. Siapa sih yang kontrol? Kominfo enggak juga, mereka situsnya,” kata dia.
Menurutnya, Revisi Undang-Undang Penyiaran jangan hanya membatasi televisi konvensional dan analog, melainkan siaran televisi streaming. “Jangan televisi konvensional dan analog saja yang dikejar, itu yang streaming, provokatif itu begitu banyak,” ujarnya.
Yuliandre juga berharap Revisi Undang-Undang Penyiaran bisa mempertegas soal regulasi televisi digital. “Kalau enggak, kasihan. Masyarakat berhak mendapatkan layar (televisi) yang jernih dan kualitas suara yang bersih. Sebab, itu hak masyarakat,” tuturnya.
Dia menilai KPI belum dilibatkan dalam revisi Undang-Undang Penyiaran karena pembahasannya masih tertutup di DPR. “Naskah akademiknya di DPR. Mudah-mudahan inisiatif pemerintah juga bisa segera masuk sehingga bisa secepatnya selesai dan bisa dilaksanakan di 2017,” ucapnya.
Dirinya bersama rombongan komisioner KPI sengaja menemui Gubernur Ahmad Heryawan untuk menyampaikan rencana KPI yang akan menjadi tuan rumah dalam konferensi lembaga penyiaran 57 negara anggota OKI di Bandung pada Februari 2017 nanti. “Indonesia diamanahkan menjadi Presiden International Broadcasting Regulatory Authorities Forum, khusus negara-negara di bawah inisiator OKI. Bandung diputuskan menjadi tuan rumah pertemuan penyiaran dunia,” kata Yuliandre.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, Bandung punya semangat bersejarah pertemuan negara-negara Asia Afrika. “Tidak salah kalau semangat Asia-Afrika itu hadir dalam pertemuan itu,” kata dia. Sejumlah isu relevan bisa dibicarakan dalam semangat Dasasila Bandung, seperti isu toleransi antar-umat beragama mengingat banyak negara anggota OKI saat ini tengah bergolak. “Kita sambut pergolakan itu dengan pesan perdamaian dari Bandung,” ujarnya.
Aher, sapaan Ahmad Heryawan, mengatakan, saat ini, isu penyiaran di daerah menyoroti dominasi televisi nasional terhadap iklan dan konten. “Ini harus dibayar dengan harga mahal. Masyarakat tidak kenal dengan konten lokal dengan budaya lokalnya,” kata dia.
AHMAD FIKRI