TEMPO.CO, Banda Aceh - Dua anak tampak santai bercanda ditemani dua perempuan setengah baya di halaman depan rumah itu. Penampilan Azrina (4 tahun) dan kawan bermainnya, Dila (8 tahun), tak seperti anak biasa. Azrina bertubuh kurus dan Dila punya benjolan dan bekas luka di bagian matanya.
Sebuah spanduk di dinding depan rumah menjelaskan semua. Spanduk itu bertuliskan: ‘Rumah Singgah C-Four (Children Cancer Care Community) Aceh’. Di bawahnya ada tulisan ‘Salurkan Donasi Anda’ lengkap dengan nomor rekening lembaga itu.
Sejak 2015 lalu, rumah ini menjadi tempat singgah bagi penderita kanker, terutama anak-anak, dari seluruh wilayah Aceh, yang berobat di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin (RSUZA), di Banda Aceh.
Letak C-Four memang tak berjauhan dengan rumah sakit, hanya satu kilometer. “Ini memudahkan mereka bolak-balik rumah sakit untuk pengobatan,” kata Ratna Eliza, pengagas Rumah Singgah C-Four, ketika ditemui Tempo, Juli 2016 lalu.
Ratna akrab dengan penderita kanker sejak awal Januari 2014, saat dia menggagas Komunitas Peduli Anak Kanker. Pada 12 Agustus 2014, nama komunitas itu berganti menjadi C-Four dan fokus kegiatan mereka pun bergeser menjadi membantu anak-anak penderita kanker.
Keberadaan rumah singgah itu sendiri tercetus pada 1 Desember 2015. “Dengan adanya rumah singgah ini, kami ingin membantu keluarga pasien dan memudahkan urusan mereka di rumah sakit. Tidak harus sebentar-sebentar bolak-balik ke daerah,” kata Ratna.
Kedekatan Ratna dengan kanker berawal dari pengalaman pribadinya. Pada akhir 2013 lalu, Ratna pindah dari Riau ke Banda Aceh untuk bekerja di salah satu SMU. Dia tinggal di Gampong Beurawe.
Kala itu, Annisa (4 tahun) anak tetangganya, diketahui mengidap kanker getah bening dan sedang dalam perawatan. Ratna rutin mengikuti perkembangan Annisa.
Pada satu hari, orangtua Anissa mengabarkan kalau anak mereka dirujuk untuk pengobatan lanjut ke RS Dharmais, Jakarta. Biaya obat dan perjalanan ditanggung BPJS. Tentu biaya lain seperti penginapan dan makan keluarga tidak ditanggung.
Ketika itulah, muncul inisiatif Ratna untuk mengumpulkan uang lewat media sosial. Kawan-kawannya banyak yang bersimpati dengan nasib Anissa dan memberikan sejumlah uang untuk membantu keluarga pasien. Semuanya disalurkan pada keluarga Anissa.
Pada saat Ratna tengah bersiap menjenguk Annisa ke Jakarta, ada sebuah pesan yang masuk ke teleponnya. Si pengirim pesan meminta bantuan Ratna untuk menggalang bantuan untuk perawatan seorang anak penderita kanker bernama Airan (1,5 tahun).
Ratna pun urung berangkat ke Jakarta. Dia kembali mengumpulkan bantuan untuk Airan dan mendampinginya berobat ke Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin untuk menjalani perawatan kemoterapi. Tetapi Tuhan berkehendak lain, Airan yang menderita kanker mata, meninggal 23 Maret 2014.
Tak lama berselang, Annisa juga meninggal dalam perawatan di RS Dharmais pada 6 April 2014.
"Setelah kedua anak yang saya dampingi itu meninggal, saya down. Semua kegiatan membantu anak-anak kanker vakum sebentar,” kata Ratna mengenang.
Di pengujung 2014, seorang pria tak dikenal menghubungi Ratna. Dia mengaku ayah dari Azizi, penderita kanker dari Kabupaten Bireuen. Dia mengaku mendengar nama Ratna dari kerabatnya dan minta bantuan didampingi mencari biaya untuk perawatan anaknya.
Setelah melihat kondisi Azizi di RSUZA, Ratna trenyuh. Dia kembali tergerak untuk menggalang dukungan. Tapi Azizi pun akhirnya dipanggil Tuhan. Dia meninggal pada 13 Februari 2015.
Lagi-lagi Ratna trauma. Tapi ayah Azizi memberinya semangat. “Tolong ibu jangan berhenti, masih banyak Azizi-Azizi lain yang membutuhkan bantuan,” kata Ratna menirukan ucapan orangtua Azizi.
Sejak itulah, Ratna meneguhkan tekadnya untuk terus meluangkan waktu untuk membantu pasien kanker. Seorang anak dari dari Meukek, Aceh Selatan, bernama Rahmat, menyita perhatian Ratna selanjutnya. Rahmat yang yatim piatu menderita kanker tulang ganas dan meninggal pada Mei 2015.
Sampai kini, Ratna telah mendampingi 45 anak penderita kanker dari seluruh wilayah Aceh. Sebanyak 20 anak yang dia dampingi akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya. Selebihnya sembuh dan masih dalam pengobatan.
Selain anak-anak, ada 5 orang pasien dewasa yang sempat dibantu Ratna. Satu di antaranya telah meninggal.
Selain mendampingi pasien, menurut Ratna, C-Four juga membantu menyediakan biaya makan dan tempat tinggal bagi anak dan keluarga pendamping selama perawatan mereka di RSUZA. Banyak pasien yang datang dari wilayah yang jauh dari Banda Aceh. “Tidak ada batasan waktu sampai kapan mereka mau tinggal di sini. Sampai sembuh pun bisa,” ujarnya.
Pasien anak yang datang ke C-Four biasanya ditemani ibunya. Mereka datang silih berganti ke sana karena C-Four hanya terdiri dari 3 kamar. Biasanya perawatan di rumah sakit membutuhkan waktu seminggu atau dua minggu.
Di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin pun, Ratna sudah dikenali sebagai pendamping pasien kanker.
Menurut Ratna, donasi umumnya datang dari perorangan yang menyebarkan nomor rekening C-Four. Dia juga aktif menggalang kampanye melalui media sosial. Sejauh ini, kata Ratna, donasi selalu ada. “Belum ada kebijakan pemerintah untuk membantu,” ujarnya.
Ratna berharap, pemerintah dapat membantu membangun lebih banyak rumah singgah buat penderita kanker seperti C-Four, karena memang dibutuhkan pasien dan keluarganya.
**
Azrina tak berhenti menangis di gendongan ibunya, Laila Wati (45 tahun). “Dia baru selesai di kemoterapi tadi, mungkin masih kurang nyaman,” katanya.
Anak penderita kanker Rhabdom Sarcoma itu terlihat kurus. Pada usianya yang baru empat tahun, beratnya hanya 9,5 kilogram. Banyak tumbuh benjolan-benjolan kecil di sekujur tubuhnya. “Selama sakit, jalannya susah,” kata Laila.
Azrina adalah pasien lama yang telah rutin berobat sejak keberadaan Rumah Singgah C-Four. Dia dan ibunya berasal dari Kabupaten Bener Meriah. Mereka kerap bolak-balik ke RSUZA Banda Aceh untuk perawatan.
Laila mengakui, keberadaan rumah singgah ini sangat membantu keluarganya. Segala keperluan makan dan tempat tinggal tak perlu dipikirkan lagi. “Sangat membantu kami,” ucapnya.
Hal sama dikatakan Ratnawati (30 tahun), ibu dari Dila yang berasal dari Aceh Tamiang. Dila mengalami tumor ganas di matanya. “Sekarang sudah lumayan sembuh setelah operasi dan kemoterapi, dulunya besar sampai setengah kilogram,” katanya.
Dila sudah menjani perawatan selama delapan bulan. Keluarganya berkenalan dengan Ratna, saat di rumah sakit. “Ibu Ratna mengajak kami, kalau lagi perawatan ke rumah sakit, bisa menginap di rumah singgah,” kata Ratnawati.
Di rumah singgah, mereka merasa nyaman karena selalu merasa didampingi saat berurusan dengan rumah sakit.
ADI WARSIDI