TEMPO.CO, Yogyakarta - Merembetnya polemik kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membuat Muhammadiyah bersikap waspada.
Kewaspadaan itu terutama pada ranah internal yang berpotensi menyeret Muhammadiyah, sebagai organisasi masyarakat, masuk pusaran politik praktis atau dipolitisasi untuk memihak kubu politik tertentu. Terlebih kasus Ahok sudah menjadi konsumsi nasional menjelang pemilihan kepala daerah serentak Februari 2017 di Indonesia.
“Muhammadiyah tak boleh terbawa urusan politik, atau memihak satu lalu tidak memihak lainnya. Serahkan urusan itu kepada rakyat,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pernyataan sikap atas kasus Ahok, Rabu, 16 November 2016.
Baca:
Ahok Tersangka, Ini Jawaban FPI
Mabuk, Pemain Sepak Bola Diego Michiels 'Tanduk' Warga
Ahok Sebut Pak Prihatin Juga Menista Islam, Apakah Itu SBY
Nashir menuturkan, Muhammadiyah tidak akan memposisikan organisasinya sebagai lembaga yang mengeluarkan penilaian terhadap seorang calon kepala daerah yang tengah bertarung dalam pilkada.
“Muhammadiyah insya Allah mempunyai pengalaman seperti birokrasi, sehingga sudah tahu benar mana tokoh yang benar-benar berprestasi atau hanya dicitrakan berprestasi,” ujar Nashir.
Yang justru menjadi fokus pengawalan Muhammadiyah menyikapi pilkada serentak adalah semangat reformasi birokrasi yang dibawa para calon kepala daerah untuk bersaing. “Muhammadiyah tak pernah punya tradisi yang berorientasi orang, tapi orientasi sistem. Ini selalu menjadi sikap (menolak terjun dalam politik praktis),” ujar Nashir.
Nashir menambahkan, meski tak terjun dalam politik praktis, bukan berarti Muhammadiyah diam. Upaya Muhammadiyah dalam “menyeleksi” kepala daerah yang dinilai membawa perubahan positif reformasi birokrasi telah dilakukan. Misalnya saat menggelar Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan pada Mei 2016 di Yogyakarta.
Muhammadiyah turut melibatkan sejumlah kepala daerah yang selama ini dianggap berprestasi untuk hadir dan berbicara tentang politik dan otonomi daerah. Seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, dan Bupati Bojonegoro Suyoto.
PRIBADI WICAKSONO