TEMPO.CO, Klaten - Cendikiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Muhammad Al Fayyadl mengatakan program deradikalisasi terhadap mantan terpidana kasus terorisme tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menggunakan pendekatan 'normalisasi'.
"Mereka diperlakukan seolah orang yang sakit, menyimpang secara kejiwaan. Padahal tidak, mereka itu waras," kata lelaki 31 tahun yang telah meraih master dari Université de Paris VIII, Jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan itu saat berbincang dengan Tempo di sela acara Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya di Kabupaten Klaten, Rabu 16 November 2016.
Fayyadl mengatakan, kata radikal kurang tepat disematkan pada para mantan terpidana kasus terorisme. Sebab, radikal berasal dari kata Latin yaitu radix, yang artinya inti atau dasar. Sedangkan orang-orang yang selama ini dicap radikal belum tentu dapat berpikir secara mendasar, utuh, dan menyeluruh. "Lebih tepat terindoktrinasi," ucap Fayyadl.
Baca juga:
Muhammadyah Sangsi Demo Bela Islam III Terjadi
Tokoh Agama Samakan Persepsi Cegah Kelompok Radikal
Meski sebagian orang terindoktrinasi itu juga berpikir secara rasional, Fayyadl berujar, mereka tidak pernah merefleksikan keagamaannya. "Bagi mereka agama itu sesuatu yang tinggal dijalankan. Dalam kondisi itu, siapa yang memberi perintah yang menentukan," tutur penulis progresif yang telah menerbitkan sejumlah buku itu, salah satunya berjudul Derrida pada 2005.
Fayyadl menambahkan, program deradikalisasi tidak akan membuahkan hasil jika hanya dikerjakan oleh negara. Sebab, negara selalu memiliki sifat untuk mendisiplinkan warganya. "Mestinya (deradikalisasi) harus lebih komprehensif dan juga mengangkat harkat dan martabat mereka dari stigma buruk yang terlanjur melekat," kata Fayyadl.
Menurut dia, melibatkan para mantan terpidana kasus terorisme dalam diskusi-diskusi terbuka adalah salah satu solusi efektif agar mereka tidak kembali terlibat dalam aksi teror. Namun, diskusi tersebut mesti bersifat dialogis alias tidak searah.
"Beri mereka ruang untuk ngomong. Jangan lupa pula menyelesaikan problem ekonomi mereka setelah keluar dari penjara. Sebab, mereka dulu menerima pesanan dengan dana besar. Itu ada jaringan internasionalnya," tutur Fayyadl.
Baca juga:
Setara Institut: Kasus Ahok Tersangka Jadi Preseden Buruk
Samsung Akuisisi Perusahaan Layanan Pesan, Saingi WhatsApp?
Seperti diketahui, program deradikalisasi akhir-akhir ini kembali menuai sorotan setelah salah satu mantan terpidana kasus terorisme, Juhanda, melempar bom molotov ke halaman Gereja Oikumene Singkotek, Samarinda, Kalimantan Timur, pada Minggu 13 November 2016. Akibatnya, empat anak balita terluka bakar. Satu di antaranya meninggal karena luka bakarnya hampir mencapai 80 persen. (Baca: Bom Samarinda: Densus 88 Diterjunkan Ungkap Jaringan Juhanda)
Baca Juga:
Menurut Bikhu Dhammatejo dari Padepokan Agung Sang Hyang Jati, Cilacap, kasus intoleransi berbasis agama akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia karena para pelakunya telah lupa dengan nilai-nilai luhur kepribadian bangsanya.
"Tepo seliro (tenggang rasa) itu sekarang mulai diabaikan. Tidak usah bicara agama dulu. Itu (sikap tenggang rasa) dulu diselesaikan baru jadi pemeluk agama yang baik," kata bikhu yang juga sebagai peserta acara Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya di Klaten itu.
DINDA LEO LISTY