TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan setiap tahun terjadi alih fungsi sawah seluas 50 ribu hektare sampai 60 ribu hektare. Padahal area sawah seluas itu bisa menghasilkan 300 ribu ton beras.
"Pada saat pemerintah mendorong upaya swasembada beras, ternyata di berbagai daerah lahan untuk pertanian menyusut," kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di kantor KPK, Kamis, 10 November 2016.
Kajian KPK, menurut Pahala, menemukan sumber masalahnya, yakni pemerintah daerah lebih diuntungkan jika lahan sawah dialihfungsikan menjadi perumahan. "Sebab, pajak perumahan lebih besar daripada pajak sawah," ujarnya.
Seharusnya, kata Pahala, pemerintah memberi insentif agar alih fungsi tidak terjadi sebagaimana Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. "Bayangkan, mengembalikan fungsi sawah itu perlu waktu 10 tahun," tuturnya.
Pahala mengatakan lembaganya akan mengundang Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri agar mendorong pemerintah daerah membuat peraturan terkait alih fungsi lahan sawah. Dia berharap, akan ada lahan pengganti untuk setiap lahan yang dialihfungsikan. Idealnya, Indonesia memiliki 10 juta hektare lahan sawah berkelanjutan.
Pada konferensi yang sama, Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Iriyanto mengakui ketahanan pangan perlu ditingkatkan hingga 35 persen. "Jika lahan berkurang lagi, Indonesia akan masuk perangkap pangan," ujarnya.
Peningkatan itu bisa dilakukan dengan mencetak sawah baru, ekstensifikasi, sekaligus mengamankan lahan-lahan produktif.
Menurut Gatot, alih fungsi lahan sawah di daerah perlu segera disetop. "Di Bandung, sawah dibuat menjadi jalan tol. Setiap hujan besar, pasti banjir," katanya.
Adapun Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Sudarsono mengatakan lembaganya meminta Kementerian Keuangan memberikan insentif pada daerah-daerah yang menggratiskan pembuatan sertifikat sawah.
MAYA AYU PUSPITASARI