TEMPO.CO, Nusa Dua - Wakil Presiden Jusuf Kalla menekankan pentingnya kerja sama pertukaran informasi intelijen antarnegara dalam menanggulangi terorisme. Kalla megungkapkan hal itu saat membuka Sidang Umum ke-85 Criminal Police Organization (ICAO/Interpol) di Nusa Dua, Bali, Senin, 7 November 2016.
"Sebagai negara-negara anggota Interpol, kita perlu meningkatkan kerja sama yang lebih menitik beratkan pada kerja sama informasi intelijen," kata Kalla di acara yang berlangsung di Bali Nusa Dua Convention Center.
Menurut Kalla, terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Tanpa informasi yang sama dan akurat di setiap negara anggota, maka pengungkapan jaringan teroris akan menemui kesulitan, baik secara nasional maupun global.
Kalla mengatakan propaganda penyebaran paham terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme saat ini berlangsung cepat. Penyebaran ini memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta akses yang mudah di Internet. Di masa lalu, penyalahgunaan Internet oleh teroris dimanfaatkan untuk berkomunikasi di antara mereka.
Akses Internet juga digunakan sebagai sarana belajar membuat bom dengan target-target tertentu. "Namun, saat ini penyalahgunaan internet oleh teroris sangat terkait dengan penyebaran idealisme yang keliru, termasuk propaganda dan penyebaran terorisme, ekstremisme, dan radikalisme," kata Kalla.
Dia mencontohkan ISIS di Irak dan Suriah. Indonesia, kata Kalla, juga tidak imun dengan kondisi tersebut. "Pemanfaatan Internet yang dilakukan oleh banyak kelompok teroris cukup banyak, walau Indonesia telah menahan lebih dari 900 teroris," kata Kalla. Karena itulah, kata Kalla, kerja sama informasi intelijen dalam menghadapi terorisme menjadi keniscayaan.
Dalam kesempatan itu, Kalla juga menyampaikan terima kasih pada negara-negara yang telah bekerja sama dengan polisi Indonesia dalam berbagai ilmu pengetahuan, pengalaman, dan transfer teknologi modern, guna mendeteksi terorisme. Saat ini, dia melanjutkan, kepolisian Indonesia telah mendapat banyak pengakuan negara-negara dunia, atas keberhasilan dalam mengatasi terorisme, meskipun belum secara keseluruhan tindakan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dapat dicegah.
Sidang Umum ke-85 Interpol ini adalah yang pertama kali digelar di Indonesia. Mengambil tema 'Setting a global roadmap for international policing', acara ini diikuti 161 negara anggota Interpol dengan jumlah delegasi sekitar 1.200 orang. Acara berlangsung pada 7-10 November 2016. Pembukaan acara dihadiri antara lain Menko Polhukam Wiranto, Presiden ICAO Mireille Ballestrazzi, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.
Tito mengatakan sidang akan membahas berbagai masalah terkait kejahatan lintas batas antarnegara. "Kejahatan itu diantaranya terorisme, cyber crime, human trafficking," kata Tito. Selain itu, kejahatan-kejahatan baru juga akan dibahas, misalnya kejahatan penipuan, penggelapan kartu kredit palsu antar negara, dan lain-lain.
Terkait soal terorisme, misalnya ISIS, Tito mengatakan perlu kerja sama internasional dalam menghadapinya. Sebab, penanganan ISIS bukan cuma penegakan hukum dan upaya paksa, tapi juga perlu upaya-upaya pencegahan. "Perlu kerja sama regional dengan negara ASEAN, negara di kawasan, termasuk kerja sama internasional, serta menyelesaikan upaya diplomasi menyelesaikan masalah ISIS yang ada di Syiria dan Irak," kata Tito.
AMIRULLAH