TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sederajat di Purwakarta, Jawa Barat, menghelat acara “Botram Pelajar Lintas Agama” di Bale Paseban, kompleks perkantoran Bupati Purwakarta, Rabu, 2 November 2016. Botram adalah tradisi makan bersama dengan tetangga dalam masyarakat Sunda.
Para murid beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu itu berpakaian khas agama masing-masing. Sebelum botram dimulai, mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lalu berdoa bersama sesuai agama masing-masing.
Selanjutnya, mereka makan bersama dengan menu tradisional khas Purwakarta, sate maranggi. Pelajar berbeda agama dan beda sekolah itu saling menyuapi. "Sikap toleran di antara pelajar Purwakarta sudah terpupuk dengan baik," kata Ketua Satuan Tugas Toleransi Kabupaten Purwakarta Jhon Dhin.
Jhon, penggagas botram, mengaku sangat terharu sekaligus gembira menyaksikan keakraban yang terbangun dalam acara itu. Mereka akrab, bercengkerama, bersenda gurau, dan saling menyuapi, sudah seperti keluarga sendiri. "Tepat, seperti nilai-nilai yang terkandung di balik botram yang diajarkan orang tua Sunda baheula (leluhur)."
Hal yang ingin dibangun dalam helatan santai itu, kata Jhon, adalah agar pendidikan toleransi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tertanam sejak dini. Ia membantah tudingan sebagian orang yang menyatakan bahwa Botram Pelajar Lintas Agama menjadi ajang tukar-menukar akidah. "Tuduhan itu sangat tendensius."
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan dari acara botram diharapkan memunculkan gagasan baru yang disebut pelajar Relawan Toleransi, yang bertugas memelihara keanekaragaman agama dan budaya di sekolah masing-masing. “Makan bersama bahkan saling menyuapi, sehingga keberagaman dan keberagamaan bisa tercipta dari lingkungan sekolah. Itu pelajaran toleransi,” ujar Dedi.
Pegiat toleransi, Denny Siregar, yang hadir dalam acara itu, mengatakan toleransi tingkat tinggi sudah terbangun di kalangan pelajar Purwakarta. "Ini layak dijadikan role model di tingkat nasional."
Menurut penulis buku Tuhan Dalam Secangkir Kopi itu, di Nusa Tenggara Timur, kiai dan pastor mampu hidup berdampingan dan memberikan ajaran toleransi kepada masyarakat. Namun yang terjadi di Purwakarta, menurut dia, lebih dahsyat lagi. “Aura toleransi ini harus menyebar ke seluruh Indonesia.”
Di NTT, kata Denny, karena muslim minoritas, mereka ikut yang mayoritas. Namun, di Purwakarta, dengan mayoritas muslim, ternyata suasana toleransi lebih baik.
Lagata Tri Dewi, siswa kelas XI SMAN Campaka, pemeluk Buddha, mengaku merasakan adanya kedamaian dan keakraban luar biasa yang terbangun dalam acara botram. Ia mengaku bangga menjadi pelajar Purwakarta yang bisa memelihara damai di antara umat beragama sejak dini. “Kami minoritas diberikan ruang yang sama dengan mayoritas.”
NANANG SUTISNA