TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menilai sistem terbuka terbatas dalam draft rancangan undang-undang pemilu saat ini prinsipnya sama dengan sistem tertutup. “Rakyat hanya tengok-tengok saja, mereka enggak bisa menentukan siapa yang akan duduk di kursi DPR,” kata dia di DPR, Rabu, 3 November 2016.
Dia meminta kepada DPR untuk mempertimbangkan kembali rancangan itu. Poinnya adalah untuk mengedepankan aspek keadilan bagi rakyat. Menurut dia, selain keadilan bagi rakyat, DPR pun harus memperhitungkan beban penyelenggara pemilu.
Menurut dia, sistem terbuka terbatas akan membebani penyelenggara pemilu. Misalnya beban untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), beban mereka menjadi menumpuk saat verifikasi faktual. “Memang rumit sekali verifiikasinya, sistemnya harus matang,” kata dia.
Wakil Ketua DPR, Agus Hermannto, menuturkan sistem terbuka terbatas belum masuk dalam pembahasan. Namun ini masih sebatas rancangan. Dia mengatakan sistem bisa dimungkinkan terbuka untuk daerah tertentu namun terbatas di daerah tertentu. Agus menilai sistem terbuka terbatas bermakna ada peran partai politik dan rakyat. “Kami pelajari terlebih dulu di fraksi.”
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan pihaknya cenderung kembali ke sistem proporsional terbuka. Sebab, partai politik sudah diberikan kewenangan mulai dari penjaringan kader-kader yang akan maju hingga pemilihan. “Parpol yanh menghidangkan, rakyat yang menentukan memilih.”
Riza menambahkan bahwa sistem terbuka terbatas pada pemilu saat ini memiliki beberapa keuntungan. Dengan sistem tersebut, partai politik menginginkan agar kader yang terbaik yang bisa tampil. Selain itu biaya kampanye akan menjadi lebih rendah.
DANANG FIRMANTO