TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama rencananya diperiksa Badan Reserse kriminal Mabes Polri pada Senin, 10 November 2016. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian mengatakan, surat panggilan terhadap Basuki, yang lebih dikenal dengan sapaan Ahok sudah dilayangkan.
Ahok dilaporkan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam terkait dugaan penistaan agama dalam pidatonya di depan warga Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Ahok disebut menyinggung Surat Al-Maidah Ayat 51 tentang kepemimpinan. Ahok sudah meminta maaf terkait ucapannya itu.
Sebelumnya, beberapa kasus penistaan agama yang pernah terjadi di Indonesia melibatkan Syamsuriati alias Lia Eden, pendiri Komunitas Eden. Wanita itu dinyatakan bersalah karena menyerukan penghapusan seluruh agama. Pada 2 Juni 2009 Lia Eden diganjar hukuman penjara dua tahun enam bulan.
Kasus lainnya seperti yang dituduhkan kepada Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho. Pemimpin syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, itu dihukum dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang pada 12 Juli 2012. Tajul didakwa melakukan penodaan dan penistaan agama.
Antonius Richmond Bawengan juga didakwa melakukan penistaan agama. Dia menyebarkan sejumlah selebaran dan buku yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Pada 8 Februari 2011 Antonius divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Temanggung.
Ketentuan yang bisa dijeratkan bagi pelaku penistaan agama di Indonesia, setidaknya bisa merujuk pada dua dasar hukum. Pertama adalah Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mereka yang dituduh melakukan penistaan agama itu, yakni Lia Eden, Tajul Muluk, Antonius dijerat dengan Pasal 156a KUHP.
1. Penetapan Presiden RI
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ditetapkan di Jakarta pada 27 Januari 1965. Ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Tercatat dalam lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3.
Dalam Penetapan Presiden itu diuraikan:
a. Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
b. Pasal 2
Ayat 1, Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah danperingatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Ayat 2, Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
c. Pasal 3
Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
d. Pasal 4
Pasal ini mengambil Pasal 156a KUHP. Pasal 156 KUHP menguraikan, barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
2. Pasal 156a KUHP
Aturan lain yang bisa diterapkan untuk tuduhan penistaan agama adalah Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu pernah diujimaterialkan di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Para pemohon adalah Abdurrahman Wahid, Imparsial, Elsam, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, M. Dawam Raharjo, Maman Imanul Haq, serta Musdah Mulia.
Pemerintah, yang saat itu diwakili Menteri Agama Suryadharma Ali berpendapat ketentuan itu masih diperlukan. Menurut Suryadharma Ali bila ketentuan itu dicabur bisa menimbulkan konflik sosial yang berpotensi terpicu. "Ini yang tidak kita harapkan," kata dia di Mahkamah Konstitusi pada 4 Februari 2010.
EVAN KOESUMAH | PDAT | SUMBER DIOLAH TEMPO