TEMPO.CO, Surabaya - Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur Bambang Sukadi mengatakan, praktik pungutan liar yang berlangsung di lingkungan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, terjadi di banyak sektor.
Menurut Bambang, akibat pungli itu menghambat proses keluarnya barang impor. “Macam-macam. Biasanya untuk memperlambat proses, misalnya, fumigasi, handling container, dan lain-lain,” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 3 November 2016.
Senin lalu, Satuan Tugas Dwelling Time Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak bekerja sama dengan Tim Sapu Bersih Pungli Bareskrim Polri menangkap Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelabuhan Indonesia III Rahmat Satria. Ia diduga menerima aliran dana penarikan tarif ilegal yang dilakukan PT Akara Multi Karya.
Perusahaan itu merupakan mitra PT Pelindo III yang melakukan pemeriksaan kontainer impor di PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), anak perusahaan PT Pelindo III.
Bambang menjelaskan, PT Akara didirikan agar importir tidak dikenai biaya tambahan untuk segala proses pemeriksaan karantina kontainer Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT). “Tapi dalam pelaksanaannya, apakah terjadi hambatan atau apa, ya, kami tidak tahu. Kemungkinan terjadinya pungli karena importir mau cepat,” ujar dia.
Hampir semua importir, kata Bambang, menyerahkan pengurusan prosedur impor kepada Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) atau yang biasa disebut forwarder. “Kami memberi kuasa kepada PPJK. Kami, kan, nggak tahu apakah itu pungli atau bukan,” ucapnya.
Importir memaklumi berbagai tahapan proses pemeriksaan karantina membutuhkan biaya. Namun, Bambang merasa heran karena nilainya per kontainer mencapai jutaan rupiah. Berdasarkan laporan yang diterima kepolisian, PT Akara mengutip biaya pemeriksaan antara Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta per kontainer. “Bagi importir, kalau sudah dibilang ada biaya-biaya begitu, kami mengikuti ajalah. Mau bagaimana lagi, nggak ada bukti.”
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan, PT Akara sengaja dibentuk sebagai perusahaan topeng untuk bisa melakukan pungli di wilayah Pelabuhan Tanjung Perak. PT Akara dibuat seolah menjadi rekanan pihak otoritas pelabuhan. Kemudian mensyaratkan importir menyetor uang tambahan hingga terkumpul Rp 5 miliar hingga Rp 6 miliar per bulan.
Uang hasil pungli dibagikan kepada sejumlah pejabat. Salah satunya adalah Rahmat Satria. "RS (Rahmat Satria) inilah yang awalnya mendirikan PT Akara," tutur Agung. Saat mendirikan perusahaan itu, Rahmat menjabat Direktur Utama PT Terminal Petikemas Surabaya periode 2013-2014.
Praktik pungli itu menyebabkan proses alur keluar barang atau kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak terganggu. Sebab, kontainer tidak bisa keluar dari pelabuhan jika pihak importir belum membayar pungutan. Praktek itu diduga sudah berlangsung sejak 2014.
ARTIKA RACHMI FARMITA