Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Disahkan DPR, Ini Lima Kelemahan Revisi UU ITE

Editor

hussein abri

image-gnews
Sxc.hu
Sxc.hu
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai ada lima masalah dalam revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi itu baru saja disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari ini, Kamis, 27 Oktober 2016.

Menurut peneliti ICJR, Anggara, revisi itu hanya mengakomodir kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat dikekang. "Perubahan ini setengah hati, lebih banyak memberikan kewenangan baru kepada pemerintah," ujar dia dalam keterangan persnya.

Baca: Suap Infrastruktur, Politikus Golkar Dituntut 9 Tahun Bui

ICJR dan LBH Pers pun, kata Anggara, juga kecewa karena pembahasan revisi UU ITE selalu tertutup dari pantauan masyarakat. Dia berujar, tidak ada satu pun rapat pembahasan revisi UU ITE yang dinyatakan terbuka oleh Komisi Komunikasi dan Informatika DPR.

Cara itu, ucap Anggara, merupakan bentuk kemunduran dan mencederai semangat untuk membuat DPR yang modern, transparan dan akuntabel. Selain itu, kata dia, pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 Ayat 3 yang memuat ketentuan larangan penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. "Tidak hanya mengurangi ancaman hukuman dari maksimal enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar menjadi empat tahun penjara dan denda Rp 750 juta," tuturnya.

Baca: Menteri Tjahjo: Tinggal 8 Juta Penduduk Belum Rekam E-KTP

Anggara menambahkan, perubahan itu berpotensi mengancam kebebasan ekspresi. Apalagi, kata dia, dalam KUHP ada ketentuan yang sama dan mampu menjangkau perbuatan yang dilakukan melalui internet. "Pasal-pasal pidana itu masih bersifat karet, multi intrepretasi, dan gampang disalahgunakan," katanya.

Perubahan hukum acara pidana UU ITE juga dinilai memberikan kewenangan yang terlalu luas bagi penegak hukum. Contohnya, kata dia, Pasal 43 Ayat 3 mengenai penggeledahan atau penyitaan yang harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri dan Pasal 43 Ayat 6 mengenai penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu 1x24 jam disesuaikan dengan ketentuan KUHAP.

Baca: Ombudsman: Pelayanan Publik di Jateng Belum Sesuai Standar

"Kami mengecam kemunduran proses pengadilan dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE," kata Anggara. Menurut dia, penangkapan dan penahanan masih memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan. "Dengan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan, upaya paksa akan menjadi diskresi aparat penegak hukum," ujarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selanjutnya, kata dia, Pasal 29 terkait cyber bullying juga dikritik oleh ICJR serta LBH Pers. Menurut Anggara, pasal itu berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan. "Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki definisi yang baku mengenai perundungan di dunia nyata. Namun, revisi UU ITE malah memaksa memberikan pengertian baku mengenai perundungan di dunia maya."

Baca: SP3 Kebakaran Riau, Desmond: Kapolda Bisa Diberi Sanksi

Karena tidak ada definisi baku mengenai perundungan di dunia nyata, Anggara menilai, rumusan yang digunakan akan banyak menimbulkan penafsiran. Karena itu, menurut dia, tindak pidana kasus tersebut berpotensi besar disalahgunakan dalam penegakannya. "Dengan demikian, terbukalah celah pemberangusan kebebasan ekspresi di dunia maya," katanya.

Pasal 40 tentang penapisan konten dan blocking konten, menurut Anggara, juga menambah kewenangan pemerintah. Dalam pasal itu, pemerintah menyisipkan kewenangan tambahan, yakni mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dan memutus akses terhadap informasi elektronik bermuatan melanggar hukum.

Baca: Anggota TPF Munir Ini Minta Jokowi Ganti Jaksa Agung Jika...

Menurut Anggara, ICJR dan LBH Pers beranggapan ketentuan tersebut akan memudahkan pemerintah melakukan penyaringan dan memutus konten. Prosedur pemutusan akses yang minim dan indikator muatan yang dilarang tidak memadai akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif. "Ini gampang disalahgunakan oleh pemerintah," tutur Anggara.

Pasal terakhir yang menjadi perhatian ICJR dan LBH Pers, menurut Anggara, adalah terkait upaya seseorang untuk menghapus pemberitaan negatif dirinya di masa lalu. Masalah itu, hanya dapat dilakukan setelah disetujui oleh pengadilan. "Ketentuan ini dapat menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya kewenangan penapisan konten,"ujar Anggara.

Ketentuan tersebut, Anggara menilai, dapat menjadi alat untuk mensensor berita. Seperti, kata dia, berita publikasi media, dan jurnalis di masa lalu. "Praktik di Eropa, the right to be forgotten masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya hanya terhadap mesin pencari atau search engine dan tidak termasuk situs ataupun aplikasi tertentu," katanya.

ANGELINA ANJAR SAWITRI

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Respons Puan Maharani, PKB, hingga Gerindra Soal Progres Hak Angket Pemilu di DPR

51 menit lalu

Suasana demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Selasa, 5 Maret 2024. Aksi massa tersebut mengangkat isu wacana hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024. Tempo/Sultan
Respons Puan Maharani, PKB, hingga Gerindra Soal Progres Hak Angket Pemilu di DPR

Puan Maharani mengklaim dia tidak memberi instruksi kepada Fraksi PDIP di DPR mengenai pengajuan hak angket.


Perludem: Capaian Keterwakilan Perempuan di DPR Periode 2024-2029 Tertinggi Sepanjang Sejarah

1 jam lalu

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan aksi menolak PKPU 10 pasal 8 ayat 2 di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin, 8 Mei 2023. Dalam aksinya mereka menolak peraturan PKPU nomor 10 tahun 2023 itu dianggap dapat mengancam keterwakilan perempuan dalam berpolitik di masa pemilu yang akan datang, Mereka juga mendesak agar KPU mengembalikannya pada ketentuan pembulatan ke atas sesuai ketentuan sebelumnya. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perludem: Capaian Keterwakilan Perempuan di DPR Periode 2024-2029 Tertinggi Sepanjang Sejarah

Angka keterwakilan perempuan di parlemen diproyeksikan meningkat di DPR RI pada periode 2024-2029. Anggota legislatif perempuan diperkirakan akan menempati 128 dari 580 kursi yang tersedia di Senayan atau 22,1 persen. Jumlah itu lebih tinggi 1,6 persen dari hasil Pemilu 2019.


DPR Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-undang, Jakarta Bukan Lagi Ibu Kota Negara

1 jam lalu

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menghadiri Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
DPR Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-undang, Jakarta Bukan Lagi Ibu Kota Negara

Mendagri mengatakan RUU DKJ adalah wujud komitmen mengupayakan Jakarta menjadi kota kelas dunia.


Kata Para Pengamat soal Kursi Ketua DPR Hanya Jadi Hak Partai Pemenang Pemilu

4 jam lalu

Kata Para Pengamat soal Kursi Ketua DPR Hanya Jadi Hak Partai Pemenang Pemilu

Usai Pileg 2024, kursi ketua DPR jadi pembahasan menarik berikutnya. Benarkah jatah kursi ketua DPR hanya hak partai pemenang pemilu?


Alasan PKS Menolak RUU DKJ Disahkan Jadi Undang-undang

7 jam lalu

Ketua DPR RI Puan Maharani menerima berkas laporan pembahasan RUU DKJ dari Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
Alasan PKS Menolak RUU DKJ Disahkan Jadi Undang-undang

PKS mengungkapkan sejumlah alasan menolak pengesahan RUU DKJ menjadi undang-undang.


Puan Maharani: Komitmen dengan Kesejahteraan Ibu dan Anak melalui RUU KIA

21 jam lalu

Puan Maharani: Komitmen dengan Kesejahteraan Ibu dan Anak melalui RUU KIA

Ketua DPR RI, Dr. (H.C) Puan Maharani, dengan tegas menegaskan bahwa DPR RI memiliki komitmen yang kuat terhadap kesejahteraan ibu dan anak melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA.


Alasan PKS Tolak Pengesahan RUU DKJ Jadi UU, Sebut Soal Jakarta Jadi Ibu Kota Legislatif

1 hari lalu

Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan pembahasan RUU DKJ dalam Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
Alasan PKS Tolak Pengesahan RUU DKJ Jadi UU, Sebut Soal Jakarta Jadi Ibu Kota Legislatif

PKS menjadi satu-satunya fraksi di DPR RI yang menolak RUU DKJ.


7 Poin RUU DKJ yang Disahkan di Sidang Paripurna DPR Hari Ini

1 hari lalu

Ketua DPR RI Puan Maharani menerima berkas laporan pembahasan RUU DKJ dari Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
7 Poin RUU DKJ yang Disahkan di Sidang Paripurna DPR Hari Ini

RUU DKJ yang telah disepakati terdiri dari 12 Bab dan 73 Pasal.


DPR Resmi Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-Undang, PKS Menolak

1 hari lalu

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerima berkas laporan pembahasan RUU DKJ dari Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
DPR Resmi Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-Undang, PKS Menolak

Sebelum palu diketuk, PKS sempat mengajukan interupsi terkait RUU DKJ. Mereka mengusulkan agar Jakarta tetap menjadi ibu kota legislasi.


DPR Resmi Sahkan RUU Desa menjadi UU, Ini Poin-poin Perubahannya

1 hari lalu

Ketua DPR RI Puan Maharani menerima pandangan Fraksi atas revisi UU Desa dari Anggota Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah dalam Rapat Paripurna ke-29 masa persidangan V tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 20 Juni 2023. Rapat Paripurna DPR RI tersebut menyepakati revisi UU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi RUU inisiatif DPR RI. TEMPO/M Taufan Rengganis
DPR Resmi Sahkan RUU Desa menjadi UU, Ini Poin-poin Perubahannya

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Desa (RUU Desa) menjadi undang-undang.