TEMPO.CO, Yogyakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla menekankan pentingnya prinsip restorative justice (bertitik tolak pada pengembalian kerugian negara) dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, jika melihat dari penegakan hukuman, Indonesia sudah menjadi negara yang paling tegas dalam menghukum koruptor.
"Dari dari segi hukuman, kita juara dunia. Tapi kenapa korupsi masih begini," kata Kalla saat membuka seminar Anti Corruption Summit (ACS) di gedung Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa, 25 Oktober 2016.
Kalla mengatakan tidak ada negara di dunia yang menghukum koruptor seperti di Indonesia. Dia merujuk pada data pejabat, baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif, yang telah dipenjara akibat tersangkut kasus korupsi. Kalla menyebut, ada 9 menteri masuk penjara. Begitu juga, 19 gubernur, 46 anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta ratusan bupati dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selain itu, ada 3 ketua partai yang masuk penjara, yakni Demokrat, PPP, dan PKS; 3 lembaga negara, yakni Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemilihan Umum; 2 gubernur Bank Indonesia; dan 2 jenderal bintang 3 masuk penjara. "Di negara lain, gubernur bank sentral masuk penjara, jadi berita dunia, tapi di kita, ya, biasa saja," kata Kalla.
Karena itulah Kalla melihat pemberantasan korupsi bukan hanya dengan menghukum, tapi diiringi dengan perbaikan sistem dan penerapan restorative justice. Dengan restorative justice, uang negara yang dikorupsi bisa diselamatkan.
ACS 2016 digelar UGM bekerja sama dengan Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Kajian Anti Korupsi UGM. Pembukaan acara ini juga dihadiri Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowono X, Ketua KPK Agus Rahardjo, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhamad Nasir, serta Rektor UGM Dwikorita Karnawati.
Dwikorita mengatakan peserta seminar yang hadir sekitar 1.000 orang, terdiri atas para dekan fakultas hukum dari perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia, pemerintah daerah, kejaksaan, kepolisian, akademisi bidang hukum, dan para pegiat antikorupsi.
Dwikorita berujar, acara ini bertujuan mengidentifikasi peran kampus peserta maupun non-peserta ACS, serta menjajaki sinergi dan potensi kerja sama antarpusat kajian antikorupsi lintas perguruan tinggi.
"Anti-Corruption Summit 2016 yang digelar pada hari ini merupakan tindak lanjut dari penyelenggaraan ACS 2015 di UGM," kata Dwikorita, dalam sambutannya. ACS 2015 itu kemudian diikuti pendirian pusat-pusat kajian yang fokus pada pemberantasan korupsi di beberapa perguruan tinggi.
ACS 1016 terdiri atas dua kelompok kegiatan. Pertama, call for paper yang diselenggarakan di tiga universitas pada 24 Oktober 2016. Kegiatan kedua adalah seminar nasional yang dilakukan pada 25 Oktober 2016 dengan tema Konsolidasi Gerakan Antikorupsi Berbasis Akademisi dari Kampus.
AMIRULLAH