TEMPO.CO, Madiun - Wali Kota Madiun Bambang Irianto tidak mempermasalahkan cegah dan tangkal yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya terkait penyidikan dugaan korupsi penerimaan hadiah dalam pembangunan Pasar Besar Kota Madiun senilai Rp 76,623 miliar tahun 2009 - 2012.
Dalam kasus ini, Bambang berstatus sebagai tersangka. "Wis, ben ae (sudah, biarkan). Kalau enggak bisa berobat ke luar negeri, saya berobat di Sogaten (sebutan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Madiun)," kata Bambang saat keluar dari ruang kerjanya sambil terus menuju ke mobil dinasnya, Kamis, 20 Oktober 2016.
Pernyataan itu disampaikannya kepada sejumlah jurnalis yang menunggu di Balai Kota Madiun. Ditanya pengacara yang akan mendampingi selama proses hukum berlangsung, wali kota dua periode ini mengaku belum memilih.
"Urung (belum). Wis, aja takon kuwi ae (Sudah, jangan tanya itu saja)," ujar politisi Partai Demokrat itu sembari menutup kaca jendela mobil dinasnya.
Sebelumnya, pelaksana tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati mengatakan lembaga antirasuah mencegah Bambang sejak beberapa waktu lalu. Pencegahan juga dilakukan terhadap Bonie Laksmana, anak Bambang, yang merupakan kader Partai Demokrat.
"Terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan pasar di Madiun, per 7 Oktober 2016, KPK sudah memohonkan cekal atas nama Bambang Irianto, kemudian atas nama Boni Laksmana sebagai saksi," kata Yuyuk di gedung KPK Jakarta.
Bambang adalah Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kota Madiun, sedangkan Bonie merupakan pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Jawa Timur.
Pada 17-18 Oktober 2016, petugas KPK juga sudah menggeledah kantor dinas pekerjaan umum di Madiun, kantor Wali Kota Madiun, rumah dinas Bambang Irianto, rumah pribadi Bambang, PT Cahaya Terang Satata, dan satu lokasi di Jakarta, yaitu PT Lince Romaulu Raya.
Dalam perkara ini, Bambang disangkakan Pasal 12-i atau Pasal 12-b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau penyewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Nilai proyek pasar tersebut mencapai Rp 76,523 miliar untuk anggaran tahun jamak pada 2009-2012.
Kasus dugaan korupsi Pasar Besar Madiun mencuat pada awal 2012 ketika Kejaksaan Negeri Madiun menduga proses lelang dan pembangunan proyek tersebut melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2011 tentang perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dugaan lain adalah terdapat pelanggaran jadwal pengerjaan, kualitas, serta model konstruksi bangunan. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selanjutnya mengambil alih perkara dugaan korupsi ini.
Namun, pada Desember 2012, Kejaksaan Jawa Timur menghentikan penyelidikan kasus tersebut karena dinilai tidak ada kerugian negara. Hingga Agustus 2015, kasus dugaan korupsi Pasar Besar Madiun tersebut akhirnya diusut KPK.
NOFIKA DIAN NUGROHO