TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengadakan survei mengenai pemilihan umum dengan responden dari kalangan pakar atau pembentuk opini. Salah satu temuannya, responden mendukung adanya penyatuan undang-undang pemilihan umum menjadi satu undang-undang penyelenggaraan pemilu.
"Keinginan tersebut berdasarkan pandangan bahwa undang-undang pemilu yang ada sekarang cenderung inkonsisten dan tumpang tindih satu sama lain," kata peneliti LSI Riza Halida saat memberikan keterangan tentang hasil survei di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, pada Minggu, 16 Oktober 2016.
Menurut Riza, karena tumpang tindih, beberapa isu penting pun menjadi tidak jelas, seperti peraturan keuangan kampanye dan pengawasan proses pemilu.
Saat ini ada empat undang-undang (UU) yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, yakni UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; UU tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; UU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu Serentak yang menggabungkan tiga dari empat undang-undang tersebut.
Dengan penggabuangan itu, diharapkan tidak ada perubahan undang-undang pemilu lagi setiap lima tahun dan tidak ada lagi aturan pemilu yang tumpang tindih.
Salah satu contoh aturan yang tumpang tindih adalah pelaporan pelanggaran pemilu. Pada aturan pemilu legislatif, pelanggaran pemilu dilaporkan setidaknya tujuh hari setelah kejadian. Sementara pada aturan Pilpres, dikatakan paling lambat 30 hari setelah kejadian.
Pada Pemilu 2014, dua hal itu membuat kebingungan peserta pemilu karena pelaksanaan pileg dan pilpres yang berdekatan sehingga tidak sadar laporannya menjadi kadaluarsa.
Riza menjelaskan, persentase kesepakatan aturan pemilu perlu disederhanakan sangat dominan di berbagai kategori.
Sebagai contoh, pada kategori tumpang tindih pemilu, sebanyak 55 persen dari total 216 responden setuju empat UU tentang pemilu yang ada sekarang tumpang tindih, sementara yang tidak setuju hanya 17 persen.
Contoh lain, pada ketagori masalah-masalah yang ada pada UU pemilu, sebanyak 33,8 persen mengatakan empat UU yang ada sekarang tumpang tindih dan inkonsisten.
Menurut Riza, pemerintah harus segera merespon hasil survei ini pada perancangan draf UU Penyelenggaraan Pemilu. Sebab, sudah terlalu sering ada masalah pada pelaksanaan pemilu akibat faktor tumpang tindih itu. Jika dibiarkan, ke depannya akan makin sulit diperbaiki mengingat elit politik bisa saja mencoba menghalang-halangi perbaikan aturan itu.
"Para pakar juga beranggapan bahwa penting mengikutsertakan para pemangku kepentingan dalam merevisi UU tentang pemilu tersebut agar tidak menguntungkan pihak tertentu saja," ujar Riza.
Berikut beberapa masalah pemilu menurut responden survei.
1. Kurangnya penegakan hukum (44,4 persen)
2. Tumpang tindih dan pengulangan dalam UU tentang pemilu (33,8 persen)
3. Peraturan yang tidak jelas terkait proses perencanaan (23,6 persen)
4. Peraturan yang tidak jelas terkait proses pemilu (16,2 persen)
5. Peraturan yang tidak jelas terkait masalah daftar pemilu (16,2 persen)
6. Isu UU Pemilu yang tidak jelas, banyak penafsiran (15,7 persen)
7. Peraturan yang tidak jelas mengenai peran parpol selama siklus pemilu (15,3 persen)
8. Peraturan kampanye dan keuangan kampanye yang tidak jelas (14,8 persen)
9. Ketidakjelasan aturan untuk menyelesaikan sengketa pemilu (14,8 persen)
10. Inkonsistensi peraturan pemilu (13,9 persen)
11. Isu sistem pemilu (11,1 persen)
12. Kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan pemilu (10,2 persen)
13. Kewenangan yang tumpang tindih di antara badan-badan penyelenggara pemilu (8,8 persen)
14. Peraturan yang tidak jelas mengenai pengawasan pemilu, kewenangan pemilu (8,8 persen)
15. Independensi dan kualitas badan penyelenggara pemilu
ISTMAN MP