TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch berharap pemerintah memperbaiki peraturan tentang mekanisme pengajuan status justice collaborator (JC) kepada tersangka tindak pidana. Permintaan ini menyusul adanya pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly soal banyaknya pengajuan justice collaborator yang menjadi modus pungutan liar.
Peneliti hukum dari ICW, Lalola Easter, mengatakan banyaknya transaksi dalam mengajukan justice collaborator disebabkan peraturan yang tidak jelas. "Permasalahan tentang JC adalah belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas definisi JC," kata Lola saat dihubungi Tempo, Jumat, 14 Oktober 2016. "Itulah mengapa mekanisme pemberiannya masih perlu perbaikan, terutama jika itu digunakan sebagai alat tukar bagi aparat penegak hukum."
Baca: KPK Siapkan Dua Cara Hadapi Kasus Pungutan Liar
Menurut Lola, Manteri Yasonna tak perlu menghapus JC untuk menghentikan pungutan liar. Sebab, penghapusan justice collaborator tidak akan menyelesaikan permasalahan utamanya. Bahkan, malah memudahkan koruptor untuk mendapatkan remisi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan praktek pungutan liar di Direktorat Jenderal Permasyarakatan masih sering terjadi. Salah satu yang menjadi modus pungutan liar adalah pengajuan JC.
Baca: Menteri Yasonna Bentuk Tim Pemantau Pungli
"Kamu pikir selama ini untuk urus justice collaborator itu gratis? Selama ini kami masih temukan mau urus remisi termasuk urus justice collaborator itu ada fee-nya," kata Yasonna. Ia mengatakan modus yang sering terjadi untuk pengajuan justice collaborator adalah saat kunjungan tamu. Tamu akan mengunjungi para petugas yang sekiranya memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengabulkan permohonan dari si narapidana.
Baca: LPSK: Masyarakat Tak Perlu Takut Laporkan Pungutan Liar
MAYA AYU PUSPITASARI