TEMPO.CO, Bojonegoro - Sejumlah wilayah di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa, 11 Oktober 2016, dilanda banjir akibat meluapnya air Sungai Bengawan Solo. Bahkan ketinggian banjir akan terus bertambah karena saat ini sedang terjadi hujan lokal yang bisa memicu luapan air dari 13 anak Sungai Bengawan Solo yang ada di Bojonegoro.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, posisi air Sungai Bengawan Solo adalah siaga kuning. Sesuai dengan alat ukur, ketinggian permukaan air Sungai Bengawan Solo pada pukul 13.50 WIB di Karang Nongko, sekitar 65 kilometer dari Kota Bojonegoro, berada pada angka 27,85 peilschaal.
Sedangkan pada alat ukur di Taman Bengawan Solo, Kota Bojonegoro, 14,35 peilschaal. “Kemungkinan tren air naik,” kata Kepala BPBD Bojonegoro Andi Sujarwo kepada Tempo, Selasa, 11 Oktober 2016. Menurut dia, di kawasan hulu Sungai Bengawan Solo juga sedang terjadi hujan deras.
Banjir menggenangi perkampungan penduduk. Sedikitnya 80 rumah yang tersebar di Bantaran Sungai Bengawan Solo yang berada di Kota Bojonegoro terendam banjir, di antaranya di Gang Matekram, Kelurahan Ledik Kulon, Kota Bojonegoro.
Begitu pula di Jetak, Kecamatan Kota. Sebagian jalan tergenang banjir. Sementara itu, sebagian wilayah di Kecamatan Dander, seperti Desa Ngulanan dan Ngablak, sudah terendam banjir dengan ketinggian 20-30 sentimeter. Tak terkecuali beberapa perkampungan di Kecamatan Kanor.
Andi Sudjarwo menjelaskan, hingga kini, posisi permukaan air Sungai Bengawan Solo cenderung naik. Warga di sekitar sungai diminta waspada, terutama jika hujan terus turun di wilayah hulu. Kondisi akan diperparah oleh banjir kiriman dari Kali Madiun yang bermuara di Bengawan Solo.
Banjir juga merendam lebih dari 35 hektare area persawahan di beberapa kecamatan, terutama yang terletak di bantaran sungai. Di antaranya di beberapa desa di Kecamatan Kalitidu, Malo, Padangan, Kasiman, Purwosari, dan Kanor.
Banjir setinggi 50-70 sentimeter merendam tanaman padi yang baru berumur 1-1,5 bulan. “Jika banjir merendam padi lebih dari tiga hari, tanaman itu akan mati. Ini yang kami khawatirkan,” ujar petani di Kecamatan Kasiman, Ngadiono, kepada Tempo, Selasa, 11 Oktober 2016.
Ngadiono menjelaskan, dia sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp 9 juta untuk menanam padi di sawahnya seluas 1,3 hektare. Biaya itu untuk beli benih padi, ongkos tanam, beli pupuk, dan perawatan.
SUJATMIKO