TEMPO.CO, Yogyakarta - Antropolog asal Makassar, Halilintar Lathief, diganjar penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award oleh panitia Borobudur Writers & Cultural Festival 2016. Penghargaan itu atas jasanya menjadi penjaga bagi pendeta agama Bugis Kuno pra Islam atau Bissu di Sulawesi Selatan.
“Untuk menjaga komunitas Bissu dari Sulawesi bertahan bukan perkara gampang,” kata Halilintar seusai menerima penghargaan pada penutupan Borobudur Writers & Cultural Festival 2016 di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Sabtu malam, 8 Oktober 2016.
Halilintar menjelaskan, gerakan pemurnian ajaran Islam membuat jumlah Bissu menyusut. Kalangan fundamentalis menganggap kegiatan Bissu melalui upacara ritual adalah musrik atau menduakan Tuhan.
Bahkan pada 1966, ketika terjadi pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), Bissu juga diburu. “Saat itu mereka dianggap tidak beragama dan pemeluk animisme,” ujar Halilintar.
Bissu yang tertangkap dihadapkan pada pilihan: mati dibunuh atau masuk agama yang diakui pemerintah. Halilintar yang seorang Antropolog lulusan Universitas Hasanuddin tak henti-hentinya membawa Bissu tampil di luar Sulawesi untuk memperkenalkan Bissu.
Dalam upayanya membawa Bissu untuk pentas ke luar Makassar, dia mendapat bantuan organisasi non-pemerintah, media massa, dan pemerhati budaya dari banyak daerah. “Saya lakukan provokasi ke luar Makassar. Dari situ orang Makassar malu,” kata dia.
Kini, tantangan bagi Bissu, kata Halilintar makin berat. Komunitas Bissu yang tersisa hanya ada di empat kabupaten: Bone, Wojo, Soppeng, dan Pangkep. Jumlah mereka di tiap komunitas hanya 20 orang. Padahal, untuk menggelar upacara ritual perlu 40 Bissu.
“Tantangan paling berat adalah regenerasi. Pemimpin Bissu kharismatik satu per satu meninggal,” ujar Halilintar.
SHINTA MAHARANI
Baca juga:
Besok, Gudang Garam Stop Beli Tembakau Petani Sumenep
Penyebar Video Ahok Diteror, Buni Yani Tak Gentar
Diminta Mundur karena Komentar Cabul, Trump: Nol Peluang