TEMPO.CO, Yogyakarta - Rumah berdinding anyaman bambu di kawasan tepi pantai itu selalu ramai dengan riuh anak-anak pada sore hari. Kerap terdengar canda-gurau mereka, meski sedang dalam kegiatan belajar.
Tak ada meja dan bangku. Bocah-bocah itu belajar dengan duduk lesehan beralaskan terpal dan kain bekas spanduk. Ada papan tulis putih, tumpukan Al Quran, juga beberapa buku sumbangan, termasuk buku-buku pemberian dari siswa SMA De Britto Yogyakarta.
Baca Juga:
Sejumlah gambar pahlawan nasional hasil fotokopi dalam warna hitam-putih ditempel di dinding bambu. Ada potret Raden Ajeng Kartini, Presiden Sukarmo, Pangeran Diponegoro, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Deretan potret itu mengapit Garuda Pancasila. Tak ada guru, yang ada hanya relawan.
Itulah Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di rumah itu, seusai jam sekolah, 22 anak usia sekolah dasar belajar membaca Iqra, aneka seni dan ketrampilan setiap Sabtu, dan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris setiap Senin dan Kamis. “Ini bukan sekolah. Ini tempat belajar dan bermain,” kata Desi Noviyani, relawan sanggar, Minggu 9 Oktober 2016.
Semuanya serba sederhana dan seadanya. “Untuk memenuhi kebutuhan belajar, kami sebagai relawan bantingan,” kata Desi yang sehari-hari sebagai bekerja sebagai penerjemah. Mereka menerapkan model belajar dan bermain seperti yang diinginkan anak. Anak-anak pun diajak menyusun kurikulum bersama. “Karena yang tahu kebutuhannya adalah anak-anak.”
Sanggar itu baru berdiri April 2016 lalu. Pemilik rumah, Bu Kawit, 56 tahun, pernah mengenyam sekolah Pendidikan Guru Agama di Bantul. Dia bercita-cita mendirikan tempat mengaji bagi anak-anak. “Itu cita-cita kalau kaya. Tapi ternyata enggak kaya-kaya,” kata Bu Kawit sambil tertawa.
Dia tak peduli lahan tempat belajar itu diancam akan digusur Pemerintah Bantul karena berada di kawasan geoheritage: gumuk pasir langka. Keraton Kasultanan Yogyakarta juga mengklaim lahan itu berstatus Sultan Ground, tapi penduduk sudah puluhan tahun menetap di situ. “Kalau digusur, ya cari tempat lain untuk sanggar. Kegiatan belajar harus tetap jalan,” kata Bu Kawit.
Di luar sanggar terentang spanduk berhiaskan potret almarhum Sultan Hamengku Buwono IX yang dikenal dengan ucapannya: Tahta untuk Rakyat. Spanduk itu bertuliskan: Perhatian Ini Tanah Rakyat, Bukan Tanah Kasultanan. “Saya menolak permintaan pemerintah untuk membongkar rumah saya pada 1 Oktober lalu,” ujar Bu Kawit.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca juga:
Penyebar Video Ahok Diteror, Buni Yani Tak Gentar
Besok, Gudang Garam Stop Beli Tembakau Petani Sumenep
Pedagang Thamrin City Tuntut DPRD Jakarta Lengserkan Ahok