TEMPO.CO, Malang - Seorang pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) bernama Sahat M. Pasaribu meninggal pada Sabtu dinihari, 8 Oktober 2016. Pria berusia 23 tahun itu berasal dari Depok dan wafat di Pos Kalimati, pos kedelapan dari sepuluh 10 pos dalam rute pendakian ke Gunung Semeru.
“Dari laporan yang kami terima, dia meninggal karena sakit,” ujar petugas Polisi Hutan Balai Besar TNBTS, Joko Puruwito alias Glemboh, Sabtu siang, 8 Oktober. “Sebelum meninggal, dia tampak pucat sekali, bengong, linglung, pandangan kosong, dan sudah tidak kuat berjalan.”
Sahat diketahui beralamat tempat tinggal di Sidamukti RT 03 RW 022, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat. Pria itu kelahiran Jakarta, 14 November 1993.
Glemboh menjelaskan, pelapor kejadian adalah Luki Prasetia, 26 tahun, rekan korban yang beralamat di Jalan Raya Pondok Gede 53, RT 04 RW 08, Cipayung, Jakarta Timur. Dari laporan Luki diketahui Sahat bersama 12 rekannya tiba di di kantor Resor Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Ranupani di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, pada Rabu siang, 5 Oktober 2016. Ranupani menjadi pos perizinan dan pengecekan bagi semua pengunjung.
Setelah melakukan registrasi dan mengikuti briefing serta makan siang, mereka meninggalkan Ranupani. Sahat gagal mendaki hingga ke Mahameru, nama puncak Gunung Semeru. Dia sakit-sakitan dan diduga sudah meninggal di sana.
Glemboh sangat menyesalkan kematian Sahat. Glemboh sangat berharap para pengunjung—tidak semua pengunjung berlatar belakang murni sebagai pendaki—benar-benar mematuhi semua ketentuan yang dibuat Balai Besar TNBTS, terutama ketentuan tentang kesehatan.
Setiap pengunjung harus menyerahkan surat keterangan sehat dan surat ini bisa didapat. Petugas tidak menerima surat keterangan sehat dalam bentuk pindaian (scan) atau fotokopi seperti yang sering dilakukan pengunjung.
Secara formal, kata Glemboh, pengunjung yang sudah membawa surat keterangan sehat asli meski belum tentu yang bersangkutan benar-benar sehat tidak boleh ditolak. “Jadi kami harap siapa pun pengunjung jujur saja saat ditanya petugas di Ranupani mengenai kesehatannya,” ujar Glemboh. ”Tolong diingat juga bahwa mendaki bukan buat gagah-gagahan.”
Sahat menjadi pendaki ketiga yang meninggal sepanjang 2016 dan kematian itu terjadi dalam tempo kurang dari sebulan. Penyebab kematian mereka pun hampir sama, yakni sakit.
Sebelumnya, Chandra Hasan, 33 tahun, pengunjung dari Kampung Pengarengan, RT 004 RW 012, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Senin, 3 Oktober 2016. Seorang lagi meninggal pada 13 September atas nama Zimam Arofik, warga Jalan WR Supratman 123, RT 005 RW 012, Kelurahan Panjang Wetan, Kecamatan Pekalongan Utara.
Selain tiga peristiwa kematian, seorang pendaki asing hingga kini belum ditemukan dan dua orang pengunjung asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sempat tersesat lima hari.
Pendaki asing yang belum ditemukan bernama Lionel du Creux, warga negara Swiss. Dia dilaporkan hilang pada 7 Juni lalu. Ia mendaki bersama teman perempuannya yang berkebangsaan Prancis, Alice Guignard. Pencarian yang dilakukan sepanjang 8-18 Juni tidak membuahkan hasil sehingga pencarian resmi pun ditutup.
Sedangkan pengunjung yang tersesat bernama Zirli Gita Ayu Safitri, 17 tahun, dan Supyadi, 27 tahun. Keduanya sama-sama berasal dari Cirebon. Gita berasal dari Desa Bojongkulon, Kecamatan Susukan. Sedangkan Supyadi beralamat di Blok 4 Tegal Lempuyangan Lor, Tegal Gubug.
Mereka tersesat selama lima hari dari 20 Mei dan ditemukan dalam kondisi sangat lemas di kawasan air terjun Gunung Boto, Desa Tawon Songo, Desa Pasrujambe, Kecamatan Pasrujambe, Lumajang.
ABDI PURMONO