TEMPO.CO, Magelang - Ragam kuliner dalam Serat Centhini dibahas dalam seminar bagian dari Borobudur Writers & Cultural Festival 2016 di The Heritage, Convention Center, Hotel Plataran, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 6 Oktober 2016. Rangkaian acara berlangsung pada 5-8 Oktober 2016 di Magelang dan Yogyakarta.
Timbul Haryono, Sekretaris Kajian Kuliner di Universitas Gadjah Mada, yang menjadi pembicara dalam seminar, mengatakan makanan merupakan hasil kebudayaan. Dalam Serat Centhini, ada makanan yang masih ditemui pada zaman sekarang. Ada pula makanan di karya sastra itu yang sudah hilang.
Dia mencontohkan makanan yang masih ada menggunakan teknik mengolah makanan seperti dalam Centhini. Misalnya sinujen atau makanan yang ditusuk, yakni sate. Ada pula sinapit atau dijapit, binakar atau dibakar, ginoreng atau digoreng, dan ginodog atau rebus. Contoh makanan yang disebut misalnya nasi liwet dan nasi kebuli.
Orang Jawa dalam Serat Centhini mengenal makanan dengan fungsi individu, sosial, hajatan, dan ritual atau upacara. Menurut dia, makanan zaman lampau bersifat kolektif. Sebab, makanan zaman Centhini tidak mementingkan individu. Berbeda dengan makanan zaman modern. "Kebudayaan bersifat kolektif sehingga tidak mungkin tahu siapa penemu makanan," kata Timbul.
Borobudur Writers and Cultural Festival mengangkat tema kekayaan budaya dan sejarah Nusantara. Tahun ini Borobudur Writers and Cultural Festival mengambil tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini, Erotisisme dan Religiositas-Musyawarah Akbar Kitab-kitab Klasik Nusantara”. Selain Timbul, seminar dalam sesi itu menghadirkan penulis Agus Wahyudi dan Agus Sunyoto.
SHINTA MAHARANI