TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi, mengatakan KY menawarkan beberapa aspek yang perlu dikuatkan untuk mengefektifkan kinerja KY dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim.
Menurut Farid, tawaran itu disodorkan KY berkaitan dengan rencana pemerintah yang akan mengeluarkan paket kebijakan hukum guna menguatkan fungsi lembaga-lembaga pengawas. Di antaranya putusan KY yang bersifat mengikat (eksekutorial) kepada hakim.
“Rekomendasi eksekutorial itu lebih dibutuhkan untuk sanksi sedang dan ringan, karena yang berat sudah ada Majelis Kehormatan Hakim,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 30 September 2016.
Farid menjelaskan, manajemen hakim saat ini masih berada di Mahkamah Agung. Apabila ada kewenangan eksekutorial, KY bisa mengadopsi konsep dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Melalui rekomendasi KY yang bersifat mengikat, kata Farid, maka apa pun yang menjadi keputusan KY yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim, maka harus ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY, terdapat beberapa penguatan kewenangan KY dalam menjalankan tugasnya. Farid mencontohkan, untuk menjaga dan menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), KY dapat meminta bantuan kepada penegak hukum untuk menyadap dan merekam pembicaraan hakim yang diduga mengarah pada pelanggaran KEPPH.
Farid mengatakan KY dapat menyadap apabila menemukan indikasi pelanggaran kode etik oleh hakim. Namun pada pelaksanaannya, kewenangan penyadapan itu tidak berjalan efektif. Ia menilai kepolisian memiliki pandangan lain. “Komisi Yudisial tidak boleh menyadap karena bukan lembaga pro-justisia,” ujarnya.
Farid mengingatkan, Pasal 20 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 menetapkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan KY, termasuk penyadapan dan merekam.
Menurut Farid, persoalan lain yang perlu dituntaskan adalah kewenangan pengawasan perilaku hakim dalam ranah kode etik. Kewenangan itu kerap dibenturkan dengan penafsiran teknis yudisial di ranah teknis peradilan.
Mahkamah Agung masih banyak memeriksa hakim, padahal KY terlebih dulu memeriksa hakim yang bersangkutan soal dugaan pelanggaran kode etik. Bahkan, rekomendasi sanksi masih banyak yang diabaikan Mahkamah Agung.
Farid mengistilahkan KY sebagai lembaga yang tidak terlihat giginya. Para pencari keadilan banyak dirugikan akibat penyempitan makna perilaku hakim yang dibenturkan dengan teknis yudisial.
Untuk mengatasi perbedaan penafsiran batasan perilaku hakim, KY menilai perlu norma baru untuk mencari titik temu agar Mahkamah Agung dan KY dapat saling menguatkan untuk mewujudkan wibawa peradilan.
DANANG FIRMANTO