TEMPO.CO, Semarang - Politik uang diprediksi masih akan terus terjadi dalam pilkada langsung Februari 2017. Dosen Ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Teguh Yuwono mengatakan dalam sejumlah survei yang dia lakukan, ditemukan sebanyak 70 persen pemilih mengharapkan adanya politik uang.
“Maka banyak kelompok masyarakat yang malah siap menerima serangan fajar,” kata Teguh dalam seminar internasional yang digelar Badan Pengawas Pemilu di kampus Undip, Senin 18 September 2016.
Pada pilkada 2015 Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) Semarang yang dia kelola melakukan survei di 15 daerah. Adapun dalam pilkada 2017, lembaganya sudah melakukan survei di lima daerah. “Politik uang menjadi salah satu yang mengancam kualitas pilkada,” ujarnya. Sebab, kandidat yang memenangi pertarungan adalah yang memiliki uang banyak.
Dengan demikian, kata dia, kehadiran Bawaslu sangat penting. “Lembaga inilah yang bisa mengawasi terjadinya dugaan pelanggaran dalam pemilu,” ujarnya.
Menurut anggota Bawaslu, Nasrullah, dalam pilkada 2015 yang lalu lembaganya tak bisa berbuat banyak menangani pelanggaran politik uang. “Karena saat itu undang-undangnya tak mencantumkan hukuman politik uang,” kata dia. Adapun dalam pilkada 2017, Nasrullah optimis jajarannya bisa mengusut politik uang.
Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan Bawaslu bisa memberikan sanksi kepada pelaku politik uang. Sanksi yang bisa diberikan ada dua, yakni sanksi administrasi berupa diskualifikasi kandidat dan sanksi pidana. “Sanksi diskualifikasi itu bisa dilakukan tanpa harus menunggu sanksi pidana,” kata dia.
Selain politik uang, kata Teguh, dua ancaman lain dalam pilkada adalah soal kampanye hitam dan penggunaan cara-cara mistik dalam pilkada. Kampanye hitam dilakukan untuk menyerang lawan dengan cara-cara menyebarkan fitnah. Adapun cara-cara mistik dilakukan secara halus. “Faktanya, serangan mistik ini memang selalu menyertai pelaksanaan pemilu di Indonesia,” kata Teguh.
ROFIUDDIN