TEMPO.CO, Yogyakarta - Jaringan Buruh Migran Indonesia menyesalkan pernyataan Presiden Joko Widodo ihwal Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang memberi izin Pemerintah Indonesia untuk meneruskan eksekusi mati Mary Jane Veloso. Hal itu menunjukkan Pemerintah Indonesia tidak peduli terhadap buruh migran, yang menjadi korban pedagangan manusia dan sindikat narkoba.
Dalam pertemuan bilateral bersama Duterte pada 9 September, Jokowi membahas kasus Mary Jane. Istana Kepresidenan melalui siaran persnya menyatakan Presiden Duterte mempersilakan Presiden Jokowi melanjutkan eksekusi Mary Jane.
Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia, Sringatin, mengatakan Mary Jane seperti puluhan perempuan migran Indonesia yang juga sedang terancam hukuman mati di luar negeri. Apalagi, proses hukum di Filipina terhadap perekrut yang menjebak Mary Jane juga masih berlangsung. “Apakah pemerintah Indonesia akan mengeksekusi korban yang sedang menuntut keadilan,” kata Sringatin, Kamis, 15 September 2016.
Jaringan Buruh Migran Indonesia mencatat 209 buruh migran Indonesia, 63 orang diantaranya merupakan perempuan yang terancam mendapatkan hukuman mati di luar negeri. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang sejak 2007.
Dengan begitu, pemerintah punya kewajiban menegakkan keadilan dan perlindungan bagi korban seperti Mary Jane, Merri Utami dan korban lain sesuai amanat aturan itu. JBMI menuntut Jokowi memberi grasi atau pengampunan kepada Mary Jane, Merri Utami, dan semua korban perdagangan manusia yang terancam hukuman mati di Indonesia.
Tim Pengacara Mary Jane, Agus Salim, mengatakan sebelum bertemu Jokowi, Duterte sudah menyampaikan pernyataan meminta pengampunan untuk Mary Jane kepada Jokowi. Tapi, dalam pertemuan bilateral itu, kata Agus Salim, Jokowi tidak mengabulkan permohonan itu sehingga Duterte menghormati proses hukum di Indonesia. Pejabat Kementerian Filipina juga telah membantah Duterte memberi izin Pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi mati Mary Jane. “Kami berharap Presiden Jokowi arif dan bijaksana mencari jalan keluar. Proses hukum masih berlangsung di Filipina,” kata Agus Salim.
Keluarga dan tim pengacara Mary Jane, kata Agus Salim sempat khawatir dan bertanya ihwal pernyataan Presiden Jokowi itu. Tapi, Agus Salim menjelaskan kepada mereka bahwa Pemerintah Indonesia masih menunggu proses hukum di Filipina.
Mary Jane ditangkap atas tuduhan membawa heroin seberat 2,6 kilogram di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta pada 25 April 2010. Mary Jane memakai penerbangan pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta pada Oktober 2010.
Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memberikan vonis mati kepada Mary Jane. Putusan itu diperkuat hingga kasasi, bahkan grasinya pun ditolak. Eksekusi Mary Jane ditunda pada April lalu di Nusakambangan, Jawa Tengah. Perekrut Mary Jane di Filipina, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri di Filipina pada 28 April 2015.
SHINTA MAHARANI