TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melakukan strategi darat dan udara untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Operasi pemadaman di darat melibatkan 22.107 personel gabungan dari TNI, Polri, BNPB, BPBD, Manggala Agni, Damkar dan Masyarakat Peduli Api.
Para petugas ini ditempatkan di Riau (3.849 orang), Jambi 5.209 orang, Sumatera Selatan 5.619 orang, Kalimantan Barat 2.492 orang, Kalimantan Tengah 2.363 orang dan Kalimantan Selatan 2.575 orang.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, operasi udara BNPB mengerahkan 24 helikopter dan pesawat untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan dari udara.
''Heli dan pesawat itu untuk water bombing dan hujan buatan,'' kata dia melalui siaran pers tertulisnya, Kamis 15 September 2016 siang.
BNPB menyiapkan tambahan 3 heli jika ada peningkatan luas kebakaran hutan dan lahan yaitu 2 heli jenis Sikorsky dan MI-172 untuk Jambi dan 1 heli MI-172 untuk Kalimantan Barat.
24 armada udara itu disebar di Riau 10 heli dan pesawat yaitu 7 heli, 2 pesawat water bombing dan 1 pesawat Casa untuk hujan buatan. Ada satu heli water bombing di operasikan di Jambi.
Sedangkan di Sumatera Selatan, ada 3 heli water bombing jenis MI-8 buatan Rusia dikerahkan yang mampu membawa 4.000 liter sekali terbang. Petugas mengerahkan 4 heli dan 1 pesawat hujan buatan di Kalimantan Barat. Sedangkan di Kalimantan Tengah, ada 4 heli dan 1 heli Bolco di Kalimantan Selatan.
Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, meski musim kemarau basah akibat adanya anomali cuaca dan La Nina lemah, kebakaran hutan dan lahan tidak serta merta dapat dipadamkan di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran dengan sengaja untuk pembukaan kebun dan pertanian masih banyak dilakukan, baik lahan di konsensi maupun lahan milik masyarakat. ''Hal inilah yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan masih berlangsung,'' kata dia.
Satelit MODIS dengan sensor Terra Aqua milik NASA mendeteksi 260 hotspot di Indonesia. Sekitar 80 hotspot terdapat di Kalimantan Barat dan 66 hotspot di Kalimantan Tengah. Jumlah hotspot ini jauh lebih sedikit dibandingkan pola hotspot normal.
Memang tidak mungkin menihilkan hotspot di seluruh wilayah Indonesia selama setahun ini karena terkait dengan perilaku dan kebiasaan membakar, baik di lahan gambut mau pun mineral.
September adalah puncak musim kemarau yang umumnya diikuti dengan meningkatnya jumlah hotspot. Cuaca yang kering menyebabkan hutan dan lahan mudah dibakar.
Secara umum jumlah hotspot hingga September ini mengalami penurunan 60 persen dibandingkan jumlah hotspot tahun 2015.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 adalah bencana asap yang paling besar karena membakar 2,61 juta hektar hutan dan lahan serta menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp 221 triliun rupiah.
Luas hutan dan lahan yang terbakar serta dampak kerugian ekonomi yang terjadi pada tahun ini belum dilakukan perhitungan. Namun, dia memperkirakan kerugian ekonomi tahun ini jauh lebih kecil dibandingkan tahun lalu.
SUPRIYANTHO KHAFID