TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh memaparkan alasan pemerintah menolak masyarakat yang membawa kartu tanda penduduk lama dan kartu keluarga untuk menggunakan hak memilih dalam pemilihan kepala daerah serentak 2017. Dia menilai, KTP lama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya pemilih ganda dalam pemilihan sebelumnya.
"Saya punya buktinya. Ada satu nomor induk kependudukan (NIK) digunakan banyak nama atau satu nama punya banyak NIK. Satu orang bisa punya KTP Bogor, Jakarta, dan Tangerang," kata Zudan saat dihubungi, Rabu, 14 September 2016.
Pemerintah, menurut Zudan, juga meminta penyelenggara pemilihan menolak masyarakat yang hendak memilih dengan hanya membawa bukti kartu keluarga. Dia mengklaim, validasi kartu keluarga masih lemah karena biasanya merupakan dokumen lama yang jarang diperbarui. "Kami meminta supaya masyarakat yang mau nyoblos membawa KTP elektronik yang datanya sudah terintegrasi. Kami berani jamin kalau KTP elektronik tak akan ada data ganda," ujar Zudan.
Dalam rapat dengan Komisi Pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat, Kemendagri memang bersepakat dengan parlemen untuk menetapkan KTP elektronik sebagai basis penentuan daftar pemilih tetap dalam pemilihan kepala daerah 2017. Keduanya menilai, KTP elektronik sebagai solusi atas berbagai masalah klasik dalam pemilihan seperti data ganda dan verifikasi pemilih.
Toh, menurut Zudan, kebijakan KTP elektronik tak akan diterapkan 100 persen dalam pilkada serentak 2017. Pasalnya, Kemendagri sendiri belum menyelesaikan pendataan KTP elektronik bagi lebih dari 5 juta penduduk di 101 daerah yang bakal menggelar pemilihan. Kemendagri masih menggenjot proses pendataan KTP elektronik hingga pertengahan 2017.
"Masih bisa dengan surat pengantar dari Dinas Dukcapil setempat. Sebagai bukti memang warga dan terdaftar sebagai pemilik hak memilih," ujar dia.
FRANSISCO ROSARIANS