TEMPO.CO, Jakarta - Seorang warga Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, menjadi milyuner gara-gara pembebasan lahan untuk bandar udara internasional Yogyakarta. Sri Ambarwati menjadi warga Temon penerima jumlah ganti rugi terbesar, mencapai Rp 170 miliar.
Nilai pembebasan lahan untuk bandara baru di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, berjumlah Rp 4,146 triliun. Uang itu dibayarkan lewat transfer bank per Rabu, 14 September 2016.
“Dari musyawarah ganti rugi lalu, yang tertinggi ada warga yang mendapat ganti rugi sampai Rp 170 miliar,” ujar Kepala Desa Glagah, Agus Parmono, yang ditemui Tempo di sela pemantauan pembayaran di Balai Desa Glagah.
Agus menyebut, warga yang menerima ganti rugi terbesar itu merupakan warga asli Glagah Temon bernama Sri Ambarwati. “Informasi yang berkembang di masyarakat, yang bersangkutan pekerjaannya memang berdagang tanah,” ujar Agus.
Saat pembayaran dilakukan, pihak Sri Ambarwati diwakili oleh notaris yang dia tunjuk. “Yang bersangkutan di Jakarta, tapi memang asalnya warga asli sini,” ujarnya.
Dalam pembayaran pada hari pertama itu, tak hanya warga yang hadir memadati Balai Desa Glagah. Tapi sejumlah penjual mobil. Salah satunya Aprinita Wulani, sales marketing dari dealer Suzuki Sumber Baru Mobil. Sebelum proses pembayaran ganti rugi dilakukan, sudah ada 25 warga asal Temon yang memesan mobil baru ke dealer miliknya yang berada di Kabupaten Bantul.
"Mereka yang inden kemarin memang karena sudah dapat kepastian pembayaran lahannya yang dibayar untuk bandara baru, jadi kami promosikan sekalian di sini,” ujar Aprinita.
Menurut dia, penduduk yang memesan mobil itu akan membayar tunai. “Tidak ada yang kredit,” katanya. Sebagian besar memesan jenis mobil premium Suzuki Ertiga keluaran terbaru dengan harga di atas Rp 200 juta untuk tipe termurah. “Mau dibuat usaha taksi katanya.”
Seorang warga Desa Glagah, Supatmi, 62 tahun, mengatakan ganti rugi atas lahannya sekitar Rp 800 ribu-Rp 1 juta per meter persegi. “Itu sudah termasuk sawah, pekarangan, rumah, dan pohon-pohon yang ditanami,” ujar Supatmi yang memiliki sekitar 10.000 meter persegi lebih lahan di Desa Glagah itu.
Dia termasuk warga yang memilih pembayaran dilakukan dengan dua cara, yakni dibayar tunai dan sebagian untuk relokasi atau dapat ganti rumah baru.
PRIBADI WICAKSONO