TEMPO.CO, Mojokerto - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mojokerto dari Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Buddi Muyo, dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD setempat. Buddi dilaporkan oleh aktivis antikorupsi karena tak memenuhi panggilan kejaksaan.
“Kami sudah mengirim surat ke BK agar yang bersangkutan dipanggil atas perbuatannya yang melawan hukum,” kata pelapor yang juga Ketua Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Mojokerto, Wiwid Haryono, Sabtu, 10 September 2016.
Kejaksaan memeriksa anggota DPRD setempat karena diduga melakukan pemotongan dana bantuan sosial (bansos) dan hibah tahun 2015 yang disalurkan melalui penjaringan aspirasi masyarakat. Pada tahap pertama, kejaksaan memanggil tujuh anggota DPRD, tapi ada satu yang mangkir, yakni Buddi Mulyo.
“Sebagai anggota Dewan, seharusnya dia taat pada hukum karena ini panggilan resmi,” ujar Wiwid. Menurut dia, jika yang bersangkutan mempersoalkan pemanggilan oleh kejaksaan, bisa menempuh jalur hukum.
Ketua DPRD Kabupaten Mojokerto Ismail Pribadi mengaku sudah menerima surat laporan dari FKI-1. “Sudah saya disposisi ke BK agar cepat ditindaklanjuti,” tuturnya.
Mengenai alasan Buddi mangkir dari panggilan kejaksaan, Ismail enggan berkomentar. “Biar dijelaskan BK karena sudah ranahnya BK,” ucapnya.
Buddi mangkir dengan alasan pemanggilan kejaksaan dianggap salah prosedur karena tanpa izin dari gubernur sesuai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pejabat Hubungan Masyarakat sekaligus Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Mojokerto Okto Hutapea membantah Kejaksaan salah prosedur. “Kami tidak menyalahi prosedur dan akan jalan terus,” katanya.
Menurut dia, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya menjelaskan prosedur pemanggilan bagi anggota DPRD dalam proses penyidikan. Jika mereka dipanggil dalam tahap penyidikan, sesuai undang-undang harus meminta izin kepada gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri. “Sedangkan kami masih proses penyelidikan,” ujarnya.
Anggaran bansos dan hibah tahun 2015 yang disalurkan melalui Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas) DPRD mencapai Rp 30 miliar. Namun diperkirakan hanya terserap 80 persen karena tidak semua pengajuan bantuan diterima. Tiap kelompok masyarakat, lembaga, atau yayasan menerima dana Rp 100-300 juta.
Dana tersebut diduga dipotong oleh mayoritas anggota Dewan sekitar 10-30 persen per penerima. Modusnya, mereka langsung meminta bagian setelah dana dicairkan dari bank atau meminta fee dari kontraktor pelaksana proyek.
ISHOMUDDIN