TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2016. Dalam sidang paripurna keenam yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta, seluruh anggota Dewan sepakat dengan RUU itu.
Ketua Komisi IX Dede Yusuf dalam laporannya mengatakan Indonesia membutuhkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi tenaga kerja pelaut. Dengan meratifikasi konvensi itu, Dede melanjutkan, pemerintah bisa melindungi hak tenaga kerja. "Tidak ada lagi tenaga kerja pelaut yang dipersulit di negara tujuan kapal," ucap Dede di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 8 September 2016.
Dede menjelaskan, ada lima hal utama yang diatur dalam konvensi ketenagakerjaan maritim 2016. Pertama aturan tentang persyaratan minimum ketenagakerjaan pelaut. Kedua, kondisi hubungan kerja, seperti perjanjian kerja, gaji, jam kerja, dan repatriasi. Ketiga, fasilitas pekerjaan yang beberapa di antaranya meliputi akomodasi, makan, klinik kesehatan, dan kantor.
Berikutnya ialah perlindungan dan pelayanan kesehatan serta jaminan sosial dan kecelakaan. Terakhir, konvensi mengatur tentang pengaduan dan tindakan penyelesaian masalah.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan setidaknya ada beberapa hal positif yang didapat dengan pengesahan konvensi ini. Pada masa mendatang, kapal Indonesia terhindar dari perlakuan berbeda akibat waktu sandar yang lama. Selain itu, Hanif melanjutkan, daya saing industri perkapalan Indonesia bisa meningkat. "Pelaut Indonesia akan lebih kompetitif dan terbuka kesempatan kerja bagi awak Indonesia di perairan internasional," kata dia.
Hanif menyatakan setidaknya ada 570 ribu pelaut Indonesia yang bekerja di sektor maritim. Sebanyak 378 ribu di antaranya ialah pelaut yang bekerja untuk kapal asing. Hanif menilai akan ada 10 ribu lulusan sekolah pelaut yang bisa diserap di sektor maritim.
"Pengesahan konvensi ini merupakan wujud tanggung jawab pemerintah memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja," ucap Hanif.
ADITYA BUDIMAN