TEMPO.CO, Bengkulu - Kriminalisasi terhadap petani dalam kasus sengketa lahan dengan perusahaan perkebunan di Provinsi Bengkulu terus terjadi. Satu persatu petani dipenjarakan dengan tuduhan melakukan pencurian, meski itu terhadap di lahan milik petani.
Hal itu dikemukakan oleh Direktur Walhi Bengkulu Benni Ardiansyah. Berdasarkan data Walhi Bengkulu, sejak 2010 sebanyak 38 petani di Kabupaten Seluma dipenjara karena dituduh mencuri buah sawit milik perusahaan. Empat orang di antaranya terjadi pada 2015. Padahal secara sah buah sawit itu hasil tanaman petani di lahan mereka sendiri yang dilengkapi sertifikat.
Kasus terbaru menimpa Nurdin, 60 tahun, petani di Desa Rawa Indah, yang juga terletak di Kabupaten Seluma. Nurdin terpaksa mendekam dalam penjara karena dituduh mencuri tandan sawit milik perusahaan perkebunan PT Agri Andalas. Sedangkan lokasi lahan tempat tandan sawit itu milik Nurdin.
Wartawan Tempo sudah mendatangi Kantor PT Agri Andalas di Jalan Pangeran Natadirja, Kota Bengkulu. Tujuannya mengkonfirmasi terkait sengketa lahan dan tuduhan terhadap warga mencuri sawit di lahan milik warga sendiri. Namun, tidak ada satu pun dari pihak manajemen perusahaan yang bersedia memberikan keterangan.
Benni menegaskan, kriminalisasi terhadap petani yang dilakukan perusahaan perkebunan tidak boleh terus dibiarkan karena semakin banyak petani yang menjadi korban. Itu sebabnya Walhi Bengkulu mendesak pemerintah segera merealisasikan reformasi agraria sejati yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Kepala Desa Rawa Indah Rubimanto mengatakan, selama setahun ini PT Agri Andalas telah memenjarakan empat orang warganya dengan tuduhan yang sama, yakni mencuri buah kelapa sawit. Dia berharap agar bupati dan gubernur memfasilitasi menyelesaikan persoalan ini. “Kasihan warga kami yang terus ditangkapi karena dituduh mencuri, padahal mereka memanen kelapa sawit di tanah mereka sendiri, sawit yang juga mereka tanam sendiri," ujar Rubimanto.
Salah seorang warga Desa Rawa Indah, Rubino, menceritakan dia dan warga lainnya melalui program transmigrasi pindah ke desa tersebut pada 1992. Sebanyak 500 kepala keluarga yang berasal dari Pulau Jawa itu, masing-masing mendapatkan dua hektare lahan bersertifikat. Lahan digunakan sebagai tempat tinggal dan ditanami kelapa sawit.
Rubino menjelaskan, persoalan muncul ketika pada 2004 Bupati Seluma, Husni Thamrin, menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit PT Agri Andalas dengan Surat Keputusan Nomor 498 Tahun 2004. Luas lahan yang diberikan kepada perusahaan itu mencapai 2.000 hektare yang berbatasan dengan Desa Rawa Indah.
Selain mendapatkan lahan 2.000 hektare, perusahaan mengklaim lahan milik warga seluas 200 hektare tanah milik warga dan tanah cadangan desa 375 hektare. “Warga tidak boleh memanen sawit yang ditanam di lahannya. Saat dipanen ternyata ditangkap dan dipenjarakan. Apa salah warga,” ucap Rubino.
Warga Desa Rawa Indah telah beberapa kali menemui Bupati dan DPRD untuk menyelesaikan persoalan itu. Namun hingga saat ini belum membuahkan hasil. Justru yang terjadi, semakin banyak warga yang dipenjara.
Dalam risalah pertemuan antara petani Desa Rawa Indah dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu Nomor 2/II/BIDV/2014. Risalah itu ditandatangani oleh, antara lain, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Provinsi Bengkulu Ali Ritamsi. Dalam risalah itu disebutkan BPN tak pernah mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Agri Andalas di dalam wilayah Desa Rawa Indah. "Apa dasar hukumnya perusahaan itu mengambil lahan transmigran di Desa Rawa Indah,” tutur Rubino.
PHESI ESTER JULIKAWATI