TEMPO.CO, Sidoarjo - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya memvonis Lam Chong San, yang menjadi terdakwa kasus korupsi tambang pasir besi di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dengan hukuman penjara 12 tahun.
Dalam persidangan yang berlangsung hingga Selasa malam, 6 September 2016, Lam Chong San yang merupakan Direktur Utama PT Indonesia Modern Mining Sejahtera (IMMS) itu juga dikenakan dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan penjara serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 79 miliar.
"Jika tidak mampu membayar uang pengganti, terdakwa wajib menjalani hukuman lima tahun penjara," kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, HR Unggul. Namun, vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 18 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Pada kasus yang sama, mejelis hakim juga memvonis Raden Abdul Gofur, bekas sekretaris tim analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pertambangan pasir itu. Gofur diganjar hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan. Vonis itu juga lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan penjara.
Penasehat hukum kedua terdakwa sama-sama menyatakan banding atas vonis majelis hakim. Penasehat hukum Lam Chong San, Alfalachu Indiantoro, langsung menyatakan banding. "Ini adalah kriminalisasi yang berhasil diciptakan oleh aparat hukum. Ini tidak bisa dibairkan,” ujarnya.
Penasehat hukum Gofur, Mufid, mengatakan vonis tujuh tahun yang dijatuhkan kepada klienya tidak adil. Menurut dia, kliennya bukan merupakan pelaku utama. "Ini orang dikorbankan," ucapnya.
Sdapun jaksa pentuntut umum, Lilik Lindawati, menyatakan pikir-pikir. "Sikap kami sementara pikir-pikir,” katanya. Dia mengaku harus melapor lebih dulu kepada atasannya guna menentukan sikap.
Selain menjerat Lam Chong San dan Raden Abdul Gofur, kasus ini juga menjerat dua tersangka lain. Kedua orang itu adalah Ninis Rindhawati, yang merupakan Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Lumajang dan Abdul Rahem Faqih, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, yang juga menjabat Wakil Direktur CV Lintas Sumberdaya Lestari. Kedua tersangka itu masih dalam penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Ninis diketahui melakukan kesalahan karena mengeluarkan izin penambangan kepada PT IMMS. Saat Ninis memimpin Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lumajang pada 2010, PT IMMS mengajukan izin usaha pertambangan-operasi produksi (IUP-OP) di Blok Dampar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Sebagai ketua penilai Amdal, Ninis seharusnya tidak meloloskan Amdal PT IMMS. Sebab, perusahaan itu tidak memiliki dokumen-dokumen pendukung dan izin-izin yang diperlukan. Di antaranya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Kenyataannya, PT IMMS tetap menambang pasir di kawasan hutan seluas 1.195, 856 hektare mulai 2010 hingga 2014. Sedangkan lahan yang digunakan merupakan kawasan hutan milik Perhutani. Akibatnya, negara rugi Rp 79 miliar.
NUR HADI