TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah kardus kacang Shanghai ditemukan di jok belakang mobil Toyota Fortuner milik Rohadi. Di atasnya tertulis nama “Mr. Sarwi” dengan spidol hitam. Isinya tujuh gepok duit pecahan Rp 100 ribu dengan total Rp 700 juta terbungkus dalam tas warna hijau. Uang itu diduga merupakan fulus untuk panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 15 Juni lalu.
Awalnya, dugaan suap tersebut terkait dengan upaya meringankan vonis penyanyi dangdut Saipul Jamil, yang terjerat kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur. “Duit itu disimpan lima hari lamanya belum diapa-apain,” kata Tonin Tachta Singarimbun, kuasa hukum Rohadi, beberapa waktu lalu.
Namun KPK mengendus bahwa duit Rp 700 juta tak berhubungan dengan kasus suap Saipul Jamil. “Kami sedang menyelidiki itu,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat berkunjung ke Tempo pada pertengahan Agustus lalu. Tapi Agus belum bersedia menjelaskan lebih lanjut. “Biar anak-anak bekerja dulu,” ucapnya.
Seorang pemimpin KPK membisikkan bahwa amplop berisi Rp 700 juta tersebut adalah “uang parkir” terkait dengan sengketa Dewan Pengurus Partai Golkar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Informasi itu datang dari seorang saksi yang diperiksa untuk Rohadi. Sesuai dengan dokumen pemeriksaan, Rohadi pernah menjadi panitera pengganti dalam perkara sengketa kepengurusan Partai Golkar.
Perkara Golkar yang dimaksudkan adalah gugatan yang dilayangkan Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada pertengahan 2015. Aburizal menggugat Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor M.HH.01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang kepengurusan Agung Laksono. Gugatan itu dimenangkan Aburizal.
Seorang politikus Golkar mengakui indikasi rasuah dalam penanganan perkara dualisme kepengurusan partai. Menurut dia, Rp 700 juta hanya sebagian kecil dari miliaran rupiah yang diduga digelontorkan. Operatornya, menurut politikus ini, adalah seorang pengacara yang dekat dengan pemimpin Golkar. Namun Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menampik tuduhan itu. “Tidak ada itu,” katanya, dua pekan lalu.
Belakangan diketahui bahwa duit Rp 700 juta itu berasal dari anggota Komisi II DPR Sareh Wiyono. Kuasa hukum Rohadi lainnya, Hendra Henriansyah, membenarkan hal tersebut. Adapun Sareh membantah telah menyuap Rohadi. “Tidak ada itu (suap),” katanya setelah menjalani pemeriksaan di KPK, 22 Juli lalu.
Menurut Tonin Tachta, kliennya mendatangi politikus Partai Gerindra itu dua kali di kantornya sebelum menerima Rp 700 juta. Dua kali pertemuan tersebut sekitar Mei lalu atau sebelum Ramadan. Tonin membeberkan, pada pertemuan pertama Rohadi mendatangi Sareh di gedung DPR lantai 4, tempat Fraksi Gerindra. Menurut dia, kala itu Rohadi berniat meminjam uang sebesar Rp 1 miliar. “Sareh tidak langsung bersedia membantu menyediakan dana,” katanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 11 Agustus lalu.
Selang beberapa hari, Rohadi kembali mendatangi Sareh di kantornya. Saat itu ia melihat Petrus Selestinus berada di ruangan Sareh. Petrus adalah seorang pengacara sekaligus menjabat Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia.
Pada 10 Juni lalu, Sareh menghubungi Rohadi melalui telepon dan memintanya datang ke apartemen Sudirman Mansion lantai 8. Sesampai di apartemen, Rohadi dijemput sopir Sareh bernama Bambang. Keluar dari lift, Rohadi dituntun belok kiri menuju kamar pertama. Lagi-lagi sudah ada Petrus Selestinus duduk di meja makan. Setelah basa-basi soal ibadah puasa, Petrus menyiapkan uang yang diminta Rohadi. Keduanya lantas menghitung untuk diletakkan ke dalam kardus. Setelah dihitung, jumlahnya Rp 700 juta.
Melalui kuasa hukumnya, Hendra Henriansyah, Rohadi membantah bahwa duit Rp 700 juta dari Sareh merupakan rasuah. Ia berdalih uang itu akan digunakan membeli peralatan ICU dan ventilator untuk Rumah Sakit Reysa di Cikedung, Indramayu, Jawa Barat. Rohadi mengklaim rumah sakit itu adalah miliknya. “Berdasarkan keterangan Pak Rohadi, itu uang pinjaman,” katanya.
Hendra mengatakan hubungan Sareh dengan Rohadi memang dekat. Keduanya pernah sekantor di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sebelum menjadi politikus, Sareh pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Meski sudah tak menjabat ketua pengadilan, keduanya masih sering bertemu.
Petrus tak membenarkan ataupun membantah informasi dirinya memberikan duit Rp 700 juta. Ia tak mau berkomentar sebelum dimintai keterangan oleh penyidik antirasuah. “Nanti kalau KPK sudah panggil, jangan mendahului,” kata dia di kantornya di Graha Gapensi, Jakarta Selatan, 15 Agustus lalu. Kepada Tempo, Petrus mengakui bahwa dia memang sudah kenal lama dengan Sareh.
Soal klaim Rohadi yang menyebut duit Rp 700 juta adalah hasil pinjaman, KPK akan menelusurinya. Bahkan penyidik berencana memanggil kembali Sareh Wiyono untuk ditanya seputar duit itu. “Dalam proses penyidikan, KPK tidak mengejar pengakuan tapi harus berdasarkan pembuktian fakta yang ada,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
MAYA AYU PUSPITASARI | WAYAN AGUS | AHMAD FAIZ
Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Selasa, 6 Juni 2016.