TEMPO.CO, Pekanbaru - Polda Riau mengaku siap dievaluasi terkait penghentian perkara 15 perusahaan pembakar hutan dan lahan tahun 2015. "Kami siap dievaluasi," kata Kepala Subdit IV Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau Ajun Komisaris Besar Hariwiyawan Harun, Sabtu, 3 September 2016.
Menurut Hariwiyawan, pihaknya selalu siap mengikuti perintah atasan. Namun dia belum tahu persis seperti apa evaluasi yang dimaksud. Sebelum-sebelumnya, ujarnya, kami juga sudah dievaluasi.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan akan kembali ke Riau untuk mengevaluasi kasus kebakaran hutan yang sebelumnya ditangani polisi setempat. "Mungkin dua atau tiga minggu kedepan saya ke sana lagi. Kalau ada pelanggaran akan saya proses," kata Tito di Mabes Polri Jakarta, Kamis, 1 September 2016.
Tito sudah mengunjungi Riau pada Minggu, lalu. Di sana dia membahas surat perintah penghentian perkara (SP3) Polda Riau terhadap perkara 15 perusahaan pembakar lahan. Dia mendorong Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal Supriyanto menindak korporasi yang terlibat pembakaran lahan di konsesinya.
"Kalau bisa dibuktikan, tuntaskan perkaranya, kami akan back-up untuk proses hukumnya," ujar Tito kala itu. Namun Tito masih belum membocorkan hasil evaluasi itu. "Saya belum tahu, nanti akan saya cek," katanya.
Di tengah kontroversi itu, tersebar di media sosial foto para perwira dan petinggi Kepolisian Daerah Riau. Di foto itu, tampak para perwira berpose mesra bersama bos perusahaan perkebunan.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan menyatakan timnya akan menyelidiki foto tersebut. "Kami sudah memberi info soal beredarnya foto itu. Sudah diputuskan untuk ditindaklanjuti dan dicek kebenarannya," kata Iriawan Jumat, 2 September 2016.
Pada saat bersamaan, dalam sebulan ini terjadi kebakaran hutan dan lahan di Riau. Titik api muncul di sejumlah wilayah. Kiriman kabut asap sisa kebakaran hutan dan lahan sempat mencemari dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Kebijakan Kapolda Riau memberikan SP3 diprotes banyak pihak. Jikalahari Riau mendesak Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian membentuk tim Independen, yang terdiri dari unsur akademisi, praktisi hukum dan masyarakat korban kebakaran lahan.
Lembaga ini menilai pemberian SP3 menyimpan banyak persoalan dan kejanggalan. “Dalam kasus narkoba Kapolri berani dan cepat membentuk tim, mengapa kasus SP3 Kapolri terkesan lamban dan tertutup? Padahal dampak karhutla sangatlah besar dan tidak bisa begitu saja diabaikan” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari Riau dalam rilisnya.
Menurut Woro, sejak awal, penerbitan SP3 tanpa diketahui publik. Publik baru mengetahui SP3 tanggal 19 Juli 2016, padahal SP3 dimulai sejak Januari 2016. Keterlambatan dan ketertutupan ini saja telah mengindikasikan ada hal yang Kepolisian tidak ingin masyarakat luas mengetahui. “Ada apa sebenarnya? Jikalahari menduga ada praktek ‘mafia’ dibalik keluarnya SP3 tersebut,” kata Woro.
Jikalahari mencatat, sudah 40 hari sejak publik mengetahui penghentian perkara tersebut, hingga detik ini hasil kinerja Mabes Polri masih gelap. “Kami belum mengetahui hasil evaluasi Mabes Polri atas terbitnya SP3,” lanjut Woro.
Anehnya lagi, Mabes Polri malah seperti mengamini alasan penerbitan SP3 oleh Polda Riau. “Semestinya Kapolri jangan hanya mendengar informasi dari internal Kepolisian, tapi juga mencari dan mendengar informasi dari publik. Itu menjadi penting untuk dilakukan terutama mengingat mandat Kapolri dari Presiden untuk memberantas mafia hukum,” ujarnya.
Woro menjelaskan SP3 telah melanggengkan pengabaian tanggung jawab perusahaan terhadap konsesinya, sehingga perusahaan tidak merasa jera. Dengan SP3 publik juga tidak dapat memantau pelaksanaan tanggung jawab perusahaan terhadap area yang harusnya dikelola dan dilindungi dari resiko kebakaran. Jika SP3 tidak dianulir, karhutla dan asap akan menjadi persoalan yang terus terjadi dan membahayakan masyarakat secara luas.
Untuk menuntaskan proses penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan, Jikalahari merekomendasikan dua hal kepada Kapolri. Pertama, mengganti Kapolda Brigjen Supriyanto karena gagal membuka SP3 15 korporasi pembakar hutan dan lahan. Kedua, mengganti Direktur Ditkremsus Polda Riau dan jajarannya karena bekerja tidak transparan pada publik.
RIYAN NOFITRA