TEMPO.CO, Bandung - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat Ineu Purwadewi Sundari mengatakan rancangan peraturan pemerintah yang menaikkan tunjangan anggota DPRD yang dijanjikan Presiden Joko Widodo yang akan diteken paling lambat akhir tahun ini mengikuti perubahan ketentuan dengan berlakunya Undang-Undang 23 Tahun 2014. “Menyatakan DPRD ini bagian dari pemerintahan daerah, sehingga harus ada, lebih tepatnya penyesuaian terhadap kebijakan keuangan bagi DPRD,” katanya pada Tempo, Jumat, 2 September 2016.
Ineu mengatakan konsekuensi dari undang-undang itu salah satunya soal standar gaji dan tunjangan anggota Dewan. Hitungan pendapatan Ketua DPRD misalnya, saat ini setara dengan 80 persen gaji gubernur. “Tapi ini dikembalikan pada kemampuan keuangan masing-masing daerah. Kebijakan besar ada di RPP tapi pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah,” katanya.
Anggota Dewan juga wajib menyetorkan sebagian pendapatannya bagi partai politik. Ineu mencontohkan partainya, PDI Perjuangan mewajibkan anggotanya yang petugas partai di lembaga legislatif menyetorkan 40 persen penghasilannya pada partai. “Tiap partai berbeda-beda, itu dikembalikan pada partainya masing-masing,” kata Ineu.
Dia mengaku belum mengetahui rincian kenaikan gaji dan tunjangan baru yang tercantum dalam RPP tersebut. “Belum terbayang, tapi yang pasti saya lebih kecil dari anggota karena ketua tidak dapat uang tunjangan kendaraan dan uang perumahan. Kami mendengar, tunjangan komunikasi insentif ini yang naik, yang lainnya menyesuaikan kemampuan keuangan daerah,” kata Ineu.
Ineu menepis sejumlah kritik yang ditujukan pada kinerja DPRD yang disebut belum layak mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan itu. “Keluarnya RPP ini harus memberikan motivasi dan semangat bagi DPRD baik di provinsi dan kabupaten/kota dalam menunjukkan kinerjanya, sesuai fungsi dan kewenangannya. Ada konsekuensi dengan diberikannya RPP ini, yang harus ditunjukkan lewat kinerja yang lebih baik,” katanya.
Menurut Ineu, ada tiga fungsi Dewan yang bisa menjadi indikator publik untuk menilai kinerja DPRD, yakni fungsi legislasi, penganggaran, serta pengawasan. Fungsi legislasi misalnya, dengan menilai manfaat produk peraturan daerah yang dihasilkan itu bagi rakyat, lalu produk anggaran yang harus berbasis kebutuhan, serta pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap peraturan daerah dan pelaksanaan anggaran. “Kami hanya bisa melaksanakan tiga fungsi, tidak mungkin DPRD melakukan implementasi anggaran,” ujarnya.
Sekjen Perkumpulan Inisiatif, Dony Setiawan, mengatakan pada tata aturan pemerintah daerah saat ini menempatkan peran eksekutif dan lembaga legislatif di daerah nyaris setara. “Perannya memang hampir sama,” katanya.
Dony mengatakan, justru dengan kesamaan yang hampir setara itu, tidak pantas anggota DPRD mendapatkan kenaikan tunjangan dan gaji di tengah situasi keuangan negara yang memaksa pemerintah memotong anggarannya. “Urgensinya apa dinaikkan? Sementara di sisi lain anggaran dipotong karena pemerintah tidak punya uang,” tuturnya.
Dia mengingatkan, kapasitas keuangan negara hanya mampu membiayai 10 persen dari total kebutuhan investasi lima tahun pemerintah Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam dokumen RPJMN. “Dua tahun ini terbukti APBN tidak cukup. Maka dibuatlah berbagai kebijakan yang terakhir ini, seperti tax amnesty, pemotongan anggaran kementerian dan lembaga sampai daerah. Sementara di satu sisi gaji dan tunjangan DRPD mau dinaikkan, kan tidak etis,” kata Dony.
Dia mengatakan, mengikuti logika pemotongan anggaran pemerintah karena kapasitas keuangan terbatas, seharusnya gaji dan tunjangan anggota Dewan juga ikut dipotong, termasuk gaji presiden. “Kalau pendekatannya negara prihatin, harusnya dipotong juga gaji DPRD. DAU dipotong, anggaran kementerian dipotong, masak gaji DPRD naik. Sekalian juga gaji presiden dipotong karena dia bertanggung jawab, dia yang ingin negara ini dibangun seperti apa dalam lima tahun ke depan. Masa gaji pemerintah dipotong tapi gajinya sendiri tidak,” kata Dony.
AHMAD FIKRI