TEMPO.CO, Padang - Advokat senior dan pakar hukum Todung Mulya Lubis menilai keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem perwakilan dua kamar merupakan penyeimbang hegemoni partai politik dalam ketatanegaraan dan demokrasi di Indonesia.
Karena itu, upaya membubarkan DPD merupakan langkah mundur dalam demokrasi Indonesia. Membubarkan DPD akan menjadi sinyal kembaliya Indonesia ke zaman yang kelam, tidak demokratis, tidak akuntabel, dan tidak menghormati hukum.
"Membubarkan DPD bisa ditafsirkan sebagai langkah awal untuk kembali ke masa lalu yang sentralistik yang tidak menghendaki melembaganya chek dan balance, dan melupakan sejarah demokrasi," ujar Todung saat memberikan orasi ilmiah bertema 'Relevansi DPD RI dalam Demokrasi dan Negara Hukum' pada Lustrum XIII Fakultas Hukum Universitas Andalas di Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis 25 Agustus 2016.
Lustrum ini juga dihadiri Ketua DPD RI Irman Gusman dan sejumlah pakar hukum Indonesia, seperti Mahfud MD, Refly Harun.
Menurut Todung, seharusnya DPD diperkuat untuk membangun sistem pemerintahan yang demokratis dan konstitusional. Terlebih DPD hadir sebagai lembaga yang mewakili dan memperjuangkan kepentingan daerah.
Saat ini, kata Todung, kewenangan DPD masih lemah. Pada pasal 22 D Undang Undang Dasar Negara RI 1945 ada pasal bahwa DPD 'dapat' mengajukan RUU kepada DPR. Kata 'dapat' di sini tak memiliki makna afirmatif dan tak menggambarkan hak yang positif.
"Kata 'dapat' selalu ditafsirkan bisa digunakan dan bisa tak digunakan. Seharusnya menggunakan kata 'berhak', sehingga DPD memiliki hak dan sisi lainnya berarti kewajiban," ujarnya.
Karena itu pula, berulang kali anggota DPR menyerukan pembubaran Dewan Perwakilan Daerah. Mereka menilai DPD tidak memiliki kontribusi dalam sistem parlemen dan ketatanegaraan ini.
Selain mengecam seruan semacam itu, Todung mengatakan DPD harus membuktikan keberadaanya dibutuhkan dan perannya diperlukan dalam mengkonsolidasikan demokrasi, dan memperjuangkan kepentingan daerah. DPD mestinya lebih bekerja keras menggerakkan roda lembaganya, sehingga bisa membuktikan DPD bukan hanya hiasan konstitusional.
Menurut Todung, DPD bisa menuntut agar kewenangan konstitusionalnya dalam pasal 22 D diperkuat. Dia mendukung pasal 22 D mesti diamendemen dalam perubahan UUD 1945.
"Kalaulah DPD bisa berperan seperti Senat di Kongres Amerika, maka DPD akan lebih banyak berbuat. Tentu bukan maksud menjadikan DPD seperti Senat di Amerika, tetapi merujuk kepada Senat Amerika," ujar Todung.
Apalagi, kata Todung, pintu perubahan UUD 1945 sudah mulai terbuka dengan akan dimasukkannya pasal tentang keharusan adanya perumusan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Todung mendorong DPD memasukkan perubahan pasal 22D, sehingga semua kewenangan konstitusional DPD bisa diperkuat dan diperluas.
Ketua DPD RI Irman Gusman mengaku akan memanfaatkan wacana perubahan UUD 1945 untuk memperluas kewenangan DPD. Perubahan itu, kata dia, penting agar bisa DPD bisa diperlakukan sesuai dengan cita-cita reformasi. "Agar kami setara dengan DPR," ujarnya.
Kata dia, setelah putusan MK nomor 92/PUU-X/2012, kewenangan DPD sudah mulai meluas. Meski begitu, kewenangan itu belum sesuai dengan sistem ketatanegaraan dua kamar, seperti belum adanya chek and balance dalam sistem parlemen Indonesia.
ANDRI EL FARUQI