TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Ronald Worotikan, mengatakan pidana pencucian uang yang diduga dilakukan Mohamad Sanusi tergolong modus baru. Bekas Komisi D DPRD DKI Jakarta itu tak pernah menerima duit mentah. "Sistemnya langsung bayar," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2016.
Ronald menjelaskan, Sanusi diduga tak pernah menerima uang tunai. Penyuap memberi uang kepada Sanusi dengan cara membayar aset yang dibeli darinya. "Kalau tradisional kan uang diterima dulu, tapi kalau yang terjadi di sini tidak. Orang yang ngasih tender itu yang langsung bayarin," katanya.
Baca: Suap Reklamasi, Taufik Siap Jadi Saksi untuk Sanusi
Dalam setiap transaksi, Ronald menemukan fakta bahwa Sanusi tak pernah menggunakan namanya sendiri. Semua pembayaran dilakukan orang lain. "Hitungannya, dia pakai rekening bank. Jadi, semua tercatat meskipun nama terdakwa tidak tercantum," ucap dia. "Tapi orang yang membayarkan itu namanya ada."
Sanusi tercatat memiliki aset senilai Rp 45 miliar yang dibeli dalam rentang waktu 2012 hingga 2015. Angka ini dianggap bombastis jika dibandingkan dengan gaji Sanusi selama menjadi anggota DPR dari 2009 hingga 2016. Jika diakumulasi, total gaji Sanusi sebagai anggota Dewan selama itu hanya mencapai Rp 2,3 miliar.
Baca: Politikus Gerindra Sanusi Didakwa Cuci Uang Rp 45 Miliar
Sebagai pengusaha PT Bumi Raya Properti, akumulasi gaji Sanusi juga tak seberapa jika dibandingkan dengan aset yang dimiliki. Sejak 2009 hingga 2015, total gaji yang diterima Sanusi adalah Rp2,5 miliar.
Ronald menyebutkan Sanusi memiliki delapan aset berupa tanah dan bangunan serta dua kendaraan bermotor. Kepemilikannya beragam. Ada yang atas nama istri, mertua, hingga pegawainya. "Ada juga yang atas nama terdakwa," kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI