TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, orang Indonesia sering memanfaatkan kuota haji Filipina. Informasi tersebut diperoleh dari pemerintah Filipina. Sebab, peristiwa itu kerap terjadi.
"Karena itu, penanganan tindakan melawan hukumnya tentu sudah ada yang menangani. Namun yang perlu diutamakan saat ini adalah memberikan perlindungan maksimal kepada 177 warga yang menjadi korban," ujar Retno, Selasa, 23 Agustus 2016.
Kementerian Luar Negeri terus berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, dan Kepolisian RI untuk mengupayakan pemulangan 177 calon haji dari Filipina. "Beberapa hari ini kami melakukan verifikasi ke Imigrasi di Manila," ujar Retno.
Baca: Kasus Haji Ilegal, Keterlibatan Aparat Imigrasi Diusut
Retno menambahkan, dari 177 calon haji, 144 di antaranya memiliki data yang cocok dengan data Sistem Management Informasi Keimigrasian. Mereka dicegah dan ditahan pihak Imigrasi Filipina pada Jumat, 19 Agustus 2016, saat hendak terbang ke Arab Saudi.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan Badan Reserse Kriminal Polri sudah mengantongi nama-nama agen perjalanan yang diduga memberangkatkan calon jemaah haji Indonesia melalui Filipina.
Nama-nama agen itu tidak tercatat sebagai badan usaha travel di bidang pemberangkatan haji. Bisa jadi, kata dia, alamat agen-agen itu tidak jelas. "Biaya yang dibayarkan calon haji terbilang tinggi," kata Martinus di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 23 Agustus 2016.
Satu orang calon haji membayar US$ 8.000 hingga US$ 10 ribu. Angka ini kurang lebih setara dengan Rp 100 juta hingga Rp 130 juta. Sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan, yakni mencapai 70 orang. Sisanya berasal dari Tangerang 17 orang, Jawa Tengah dan Jepara 11 orang, Jawa Timur 8 orang, dan Kalimantan Utara 9 orang. Lalu Jawa Barat 4 orang, Yogyakarta 2 orang, Jakarta 9 orang, Riau 1 orang, Jambi 2 orang, dan Kalimantan Timur 2 orang.
REZKI ALVIONITASARI | ANTARA