TEMPO.CO, Yogyakarta - Pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta mengutuk keras kasus penganiayaan terhadap dua wartawan di Medan oleh aparat TNI Angkatan Udara. Penyelesaian kasus itu tidak cukup sebatas permintaan maaf oleh petinggi TNI-AU, tapi harus berlanjut ke proses hukum.
"Proses hukum harus jalan. Tidak cukup minta maaf dan jangan hanya omong kosong," kata Ketua PFI Yogyakarta Tolhah Hamied, Selasa, 16 Agustus 2016.
Tolhah menegaskan, penganiayaan terhadap dua wartawan yang terjadi Senin kemarin merupakan perbuatan yang biadab. Aparat TNI seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat, termasuk wartawan. Tapi justeru bertindak beringas.
Menurut Tolhah, kekerasan terhadap wartawan sudah sering terjadi. Namun, tidak pernah ada tindakan dari aparat penegak hukum. Perhatian pemerintah juga tidak ada. "Kami Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta mengutuk keras aksi kekerasan terhadap wartawan dan menuntut pelakunya dihukum," ujarnya.
Penasihat PFI Yogyakarta Pamungkas WS mengatakan tidak boleh lagi ada kasus penganiayaan terhadap wartawan, termasuk para wartawan foto. Ia tidak ingin ada lagi kasus Udin Bernas yang mati dibunuh karena berita dan tidak terungkap hingga saat ini. “Kasusnya menguap bagaikan air yang terkena terik matahari," ucapnya.
Penganiayaan menimpa Array Argus dari Harian Tribun dan Andry Safrin wartawan MNC TV. Keduanya sedang meliput unjuk rasa warga Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara, Senin, 15 Agustus 2016.
Warga yang ingin mempertahankan tanahnya yang akan dijadikan lokasi pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) terlibat bentrokan dengan aparat TNI-AU. “Tanpa bertanya apapun, saya ditendang dan dipukul, meski mereka tahu saya sedang melakukan tugas jurnalistik." tutur Array.
Array mengatakan, ia ditarik dan dihantam kayu. Kemudian diseret-seret dan diinjak-injak. “Aku sudah teriak bahwa aku jurnalis, sambil menunjukkan identitasku. Tapi orang itu (prajurit TNI AU) bilang gak urus," ujarnya. “Dada saya sesak kalau bernapas.”
Andry juga dicekik dan dipukul menggunakan pentungan dan kayu. Aparat TNI-AU juga mengambil telepon selulernya, dompet, Kamera handycamnya dihancurkan. "Aku dicekik dan dipukuli pakai pentungan dan kayu. Handphone dan kameraku direbut serta dirusak, bahkan dompetku diambil sama mereka," ucapnya.
Array dan Andry menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Sejati, Kota Medan. Andry mengalami luka serius pada dada dan perut. Ia mendapat bantuan pernafasan dengan oksigen.
Pada Selasa dinihari, 16 Agustus 2016, sekitar pukul 02.00 WIB, Andry dilarikan ke Rumah Sakit Royal Prima, Medan. “Rusuk dan tulang leher Andry patah,” kata Devi Marlin, salah seorang wartawan yang mendampingi Andry. Uang Andry Rp 4 juta yang ada dalam dompet juga hilang.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan Agoez Perdana mengatakan, tindakan penganiayaan yang dilakukan prajurit TNI-AU itu melanggar pasal 4 ayat 1 dan ayat 3 junto pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. “Pelakunya dapat dikenakan ancaman hukuman dua tahun penjara serta denda Rp 500 juta,” katanya lewat rilis AJI Medan.
Adapun Koordinator Divisi Advokasi AJI Medan Dewantoro mengatakan, AJI secara tegas menolak segala bentuk impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan.
Hari ini pihak TNI-AU bermaksud menggelar konferensi pers di Markas TNI-AU Polonia, Medan. Tapi wartawan di medan sepakat tidak menghadirinya sebagai aksi boikot. Aksi itu ditempuh sebagai sikap solidaritas terhadap Array dan Andry. “Kami serukan aksi boikot terhadap TNI-AU di Medan sampai ada niat baik pimpinan TNI-AU menghukum pelaku penganiayaan,” kata wartawan MNC TV Hendrik Sianturi.
MUH SYAIFULLAH | SAHAT SIMATUPANG