TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto belum memberi tanggapan lugas mengenai kabar tenggat waktu pembebasan tujuh warga negara Indonesia yang ditawan di Filipina Selatan.
Perusahaan kapal tunda Charles 001 asal Samarinda kabarnya diberi batas waktu hingga 15 Agustus 2016 oleh para penyandera Abu Sayyaf untuk membayar uang tebusan para sandera senilai 250 juta peso (Rp 70 miliar).
"Ini kita selalu ikuti perkembangan sandera dengan cara khusus, yaitu operasi intelijen," ujar Wiranto di kantornya, Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.
Wiranto mengatakan usaha penyelamatan masih terus dilakukan, salah satunya melalui kerjasama diplomasi antara pemerintah Indonesia dan Filipina. "Kita dorong pemerintah Filipina untuk melakukan langkah yang tepat untuk menyelesaikan kasus (penyanderaan) ini," kata Wiranto.
Wiranto memastikan langkah pemerintah untuk selalu mempertimbangkan keselamatan para WNI yang diculik sejak Juni 2016.
Indonesia tengah menghadapi sejumlah kasus penyanderaan. Selain menyandera tujuh WNI, ada tiga orang Indonesia, awak kapal ikan berbendera Malaysia, yang diculik pada 8 Juli lalu. Secara resmi, ada sepuluh WNI yang diumumkan sebagai sandera saat ini.
Di luar kedua kasus tersebut, Kementerian Luar Negeri masih mencari kejelasan mengenai seorang WNI yang diculik di perairan Kinabatang, Malaysia, pada 3 Agustus 2016. Belum ada kejelasan lagi mengenai WNI bernama Herman bin Manggak, yang merupakan kapten kapal pencari udang berbendera Malaysia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkata komunikasinya dengan pemerintah Filipina terus dilakukan tanpa jeda. Namun dia meminta masyarakat memahami banyaknya perubahan di lapangan, terutama dinamika situasi di Filipina Selatan, tempat para WNI ditawan.
"Banyak perubahan di lapangan yang membuat situasi lebih sulit," ujar Retno di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Ahad, 14 Agustus 2016.
Retno mengaku berkomunikasi dengan Menlu Filipina Perfecto Rivas Yasay, Sabtu lalu. "Saya sampaikan kita mengerti situasi di lapangan, yang lebih dinamis dari biasanya."
YOHANES PASKALIS